Flash Fiction Cicih M. Rubii: Ghibah Saat Wabah

Hari semakin sore, jarum pendek menunjuk ke angka lima. Bayangan pohon dan tiang listrik di luar semakin panjang ke arah timur. Anak-anak berkeliaran di jalan bermain sepeda. Bau masakan terasa menggoda, menguar dari dapur-dapur tetangga di kompleks yang memang jarak tipis-tipis. 

Berkas-berkas dan buku-buku referensi yang kugunakan barusan, kurapikan dan disimpan di meja kerja yang berada di pojok kamar. Bayangan wajahku yang sumringah tertangkap di layar hitam, saat kututup laptop dengan lembut. 

“Adzan masih lama, tapi kamu buka puasa sekarang saja, ya!’ ujarku tertawa geli mengajak bicara laptop. Tangan kananku mengurai charger yang sedari tadi terbungkus rapi dalam tas.  “Kamu harus diisi daya agar nanti malam selepas isya aku bisa membuat makalah,” sambungku sambil mencolokkan charger pada bolongan dua di tembok. Kulangkahkan kaki keluar ruangan, mendapati suamiku tengah duduk di kebun luar. 

“Ceria amat Bunda. Nampaknya sukses nih pengajian sorenya?” sapa lelaki di yang kusebut Ayah ini sambil tersenyum. Tangannya penuh kotoran tanah, potongan-potongan bibit bunga berserakan di hadapannya. Sekop tergeletak begitu saja di atas media tanam, sementara beberapa pot plastik berbagai ukuran bergelimpangan. 

“Hehe…iya. Alhamdulillah lancar. Jaringan juga tadi tak ada masalah,” jawabku sambil ikut duduk di hadapannya. Bakda ashar tadi jadwalku menyampaikan materi di pengajian RW yang diadakan melalui Zoom meeting

“Materinya apa sih? Ayah tadi kepo sebenarnya, tapi ini ada tanaman yang harus repotting. Nunggu besok takut lupa dan keburu mati,” ujarnya sambil tangannya cekatan memasukkan media ke dalam pot kecil. 

“Ah biasa! Ibu-ibu mah materinya jangan terlalu serius, jangan yang nyuruh mikir. Mereka udah pusing mikirin Mas Kopid tak pulang-pulang. Ha..ha..ha,” terangku tertawa sendiri. 

“Wah… pasti ini masalah poligami, kan?” ujarnya menggoda.

“Hmm.…” dengusku sambil melotot. 

“Maunya para pria itu mah, pesan sponsor,” ujarku gemas. “Masalah sehari-hari sajalah, seputar surat Al-Hujurat ayat 12. Larangan Allah tetapi dilakoni ibu-ibu setiap hari,’’ terangku sambil ikut merapikan sisa-sisa tanah yang bertebaran di lantai. 

“Oooh… iya bener. Harus saling mengingatkan selalu ya Bunda. Bangga, istri Ayah ceramahnya hebat tadi,” pujinya sambil mengacungkan jempol tangannya yang kotor. 

“Semua ibu-ibu RT kita bisa ikutan masuk Zoom tadi?” tanyanya menyelidik. Maklum posisi dia sebagai ketua RT, ingin tahu kondisi masyarakat yang dipimpinnya. 

“Alhamdulillah tadi hadir semua, kecuali Bu Ruslan,” jawabku sambil berdiri. Kubersihkan tanah yang menempel di gamisku. “Kasihan lho, Yah! Kata ibu-ibu tadi, Bu Ruslan tak bisa hadir pengajian Zoom karena sedang ada masalah sama suaminya, eh kena Covid pula. Kabarnya suaminya terjerat kasus korupsi. Semenjak punya istri muda, kehidupan mereka berantakan gitu, kualat, ya!

Hanya saja, yaaa…. Bunda gak akrab-akrab banget sih sama bu Ruslan, jadi malas ikutan membantu Bu Ruslan yang sedang Isoman. Lha wong dia kan orangnya agak sombong gimana gitu lho…. Kalau ketemu aja gak suka menyapa,” imbuhku mulai menaikkan volume suara, pandangan mata kuarahkan ke kanan kiri khwatir ada yang lewat. 

Lelaki di depanku terdiam dan menghentikan gerakan tangannya. Dahinya berkerut dengan mata yang menyipit tanda dia terheran-heran. Melihat tampangnya yang kaget, aku semakin semangat memaparkan fakta yang selama ini tak sempat kubahas. 

“Bunda berteman juga di Fesbuk, tapiiii… yaa… ituuu…! Dia mah gak pernah nge-like, padahal Bunda pasti like postingan dia. Apa coba teman kayak gitu?” ujarku bertubi-tubi meluapkan kekesalanku.

“B-Bundaaa, tadi pengajiannya membahas apa? Al-Hujurat ayat 12 katanya?” tanya suamiku sedikit gagap. Mungkin dia takjub mendengar cerita ‘update’ tentang keluarga Bu Ruslan dari lisanku. Sebagai ketua RT Ayah harus tahu siapa aja warganya yang positif Covid. 

Memang kasihan juga Bu Ruslan, sudah dikhianati suami, sekarang malah kena Covid. Alhamdulillah suamiku orang baik. Tentu saja karena aku juga istri idaman pastinya, batinku berbangga hati. 

“Sekarang Bunda wudhu, baca istighfar 100 kali. Baca ulang materi yang tadi Bunda sampaikan!” saran suamiku sambil geleng-geleng kepala. Ekspresinya tampak geregetan.   

“Eh…. Ayah! Bunda ke dapur dulu ya, belum nyiapin makan,” sahutku undur diri lalu berlari ke dapur secepatnya. Kalimat suamiku dengan ekspresi wajah yang ditampakkan barusan menyadarkan kekeliruanku sore ini, kepo dan menggibah orang. 

Dih…Gara-gara Bu Ruslan sih ini… batinku masih merasa tak bersalah. 


Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *