Oleh: Lisvy Nael
Dan tak lama aku terlelap. Dalam kepasrahan yang kuminta, aku bergeming bersama laut hening. Tuhan baik sekali, mengabulkan seketika inginku. Tak perlu menunggu lama, tidur adalah obat terbaik untuk tubuh yang lelah.
Dengan sedikit desau, angin kali ini pun seperti ingin menghiburku. Meniup-niupkan sedikit kesejukan. Ah… nikmat mana lagi yang kau dustakan? Kalimat itu terngiang di ingatan dalam wujud seseorang berkemeja flannel. Seketika aku mengamini.
Dalam lamunan laut, malam ini memang menyenangkan dan menenangkan. Burung-burung telah kembali ke peraduan. Para raja laut kembali ke kedalaman. Dan awan tak mengumandangkan kegaduhan bersama kilatan-kilatan tajam.
Aku terlelap. Bergeming tak sedikitpun terganggu bahkan dengan hal-hal kecil seperti rasa gatal. Kulihat juga senyum setipis silet tergaris. Anehnya, aku melihat itu semua. Aku menyakiskan tubuhku terlelap demikian tenang. Ada yang tak kupahami.
Jika mataku terkatup. Mulutku pun rapat tertutup. Dua tanganku terkunci di bawah kepala. Meski menghadap ke langit, tetapi aku melihat ke bawah. Tunggu, jika aku yang tertidur, lantas siapa aku?
Apakah aku mati? Tampaknya seperti itu. Bagaimana bisa kita melihat tubuh sendiri? Apakah kita benar-benar berkelana ketika terlelap? Seseorang, tolong jelaskan.
Dengan rasa kalut, aku terbang. Meninggi melewati ujung layarku. Terantuk awan. Aku duduk di atasnya. Memandang ngeri ke bawah. Di sisi lain, aku juga takjub bagaimana segalanya tampak biru meski malam sedang pekatnya karena bulan pun tak terlihat malam ini.
“Apa yang kau pikirkan sampai ke sini?” Suara itu mengagetkanku.
“Siapakah yang berbicara?” Suaraku sendiri bergetar menanyakan sumber suara.
“Kau tepat di atasku. Kau mendudukiku.” Jelasnya. Ah, awan rupanya.
“Maafkan aku. Apakah aku memberatkanmu?”
“Tidak, santai saja. Aku hanya bertanya, bagaimana kau sampai ke sini, apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya lagi.
“Aneh, aku justru sedang tidak berpikir apa-apa tadinya. Aku pasrah pada lelah. Kemdian aku melihat diriku tidur selagi menuju kemari.” Penejelasanku sepertinya tidak mudah dipahami.
“Jadi, sebenarnya kau di bawah sedang tidur atau kau berada di sini?” benar dugaanku, awan masih tidak memahamiku. Bagaimana pun, aku sendiri tidak paham dengan apa yang kukatakan.
“Itulah. Jika kau bisa menjawab kebingunganku, kira-kira ke manakah jiwa kita ketika tertidur? Apakah aku adalah jiwa? Atau aku hanya apa adalah mahluk tak kasah yang melekat?”
Ah… aku makin kesulitan untuk membuat semuanya lebih jelas. Bahkan menyusun pertanyaan saja terasa semakin sulit.
Photo by Rusty Watson on Unsplash