Sumarah

Oleh: Lisvy Nael

Aku masih heran bagaiamana seseorang bisa mencintai yang lainnya lebih besar dari dirinya sendiri. Ataukah, apakah justru rasa cinta pada dirinya sendiri yang teramat besar itulah membuat seseorang enggan merasa melukai nuraninya sendiri. Baiklah, sepertinya malam ini juga akan berarkhir dengan kepala tanpa habis pikir.

Udara, air, bahkan bangau sekalipun tak menaruh marah pada nila setitik yang menyebabkan rusak susu sebelanga. Manusia-manusia tungau yang menyebabkan ketidakseimbangan. Mereka tak menjadi hambatan bagi udara, air, bahkan bangau untuk tetap mencintai manusia dan mahluk lain di bawah naungan langit bumi.

Apa sebabnya seseorang bisa mengalahkan ego sendiri untuk tidak mengambil keuntungan dari hal di luar dirinya. Alih-alih membuat hanya sendiri yang mendapatkan kebaikan, mereka memastikan orang-orang asing, orang lain, atau yang mereka kasihi mendapat lebih banyak hal-hal baik dan terlebih dahulu. Ya, mereka tak masalah untuk menikmati kebaikan belakangan.

Bisa kau bayangkan, jika kau mengaku mencintai kekasihmu, apa yang ingin kau lakukan? Sampai oase tinggal setetes dan kekasihmu kehausan, takkan ragu tegukkan terakhir akan kau dedikasikan untuknya. Sampai benang sehelai benang tersisa dan kekasihmu kedinginan, tak masalah kau telanjang digulung kedinginan.

Memberikan seluruh jiwa raga demi kekasih bahagia. Mengusahakan segalanya hanya supaya yang mereka kasihi tidak menderita. Mencurahkan waktu dan tenaga untuk memberi mereka perhatian hanya agar sang terkasih tak merasakan kegetiran. Tak masalah berkorban, karena itu mennjadi sumber kebahagian.

Namun, kukira itu hanya permukaan. Justru ego adalah hal paling musykil untuk diturunkan atau dinaikkan ke atas permukaan. Ia berada di tingkat paling tinggi sekaligus terdalam. Apa maksudnya? Bagaimana kita mengenalinya? Ego terdalam atau ego tertinggi.

Ego bersembunyi dalam ketidakterlihatan. Mengaku tak ada nyatanya dia mengendalikan. Kutanya, siapa yang lebih bahagia ketika melihat orang yang Ia cintai bahagia? Siapa yang girang tak kepalang jika melihat orang yang tersayang senang tak kepalang? Siapa yang merasa bersedih atas luka yang kekasihnya tak tersembuhkan? Kau yakin itu adalah ketiadaan ego?

Kita mengenal ego hanya yang berada di atas. Terlihat culas. Takkan pernah tunjukkan rasa asih welas. Dia yang suka menggilas dan menindas. Mendahulukan dirinya dari siapa pun sebelum atau sesudahnya. Bahkan siapa-siapa yang berada di antaranya, takkan mau Ia berikan kesempatan untuk merasa lebih baik. Itulah ego teratas.

Sementara ego terdalam. Ia bersembunyi dalam palung kalah atau pengorbanan. Merasa harus tersakiti agar tampak baik. Harus mengalah agar tampak gagah. Menjadi sahaja supaya tak nampak jumawa. Ego itulah yang mengendap sedalam palung Mariana.

Katanya itu cinta. Katanya cinta itu buta. Katanya yang buta cinta kehilangan kewarasan. Apa arti kewarasan jika hidup yang berlalu jika hatimu mampu merasakan. Ah, jangan terlalu dipikirkan. Ini hanya pikiranku yang lagi-lagi mengembara lebih jauh tak karuan dari keberadaanku dalam pelayaran.

Karena lelah menuduh ego, malam ini benar-benar aku berpasrah. Aku ingin berserah. Sumarah. Menyerah. Sadrah. Pada kelelahan yang membiarkanku barang sekejap memuji ego. Langit, ijinkan aku menjadi lemah hati kali ini. Biarkan aku hanya menikmati malam sunyimu tanpa merasa bersalah atau tak enak hati karena tak mau memikirkan kebahagiaan orang lain karena itu pula hanya cara untuk membuat diri kita merasa bahagia. Biarkan malam ini aku menjadi apa adanya. 


Photo by Peppe Ragusa on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *