Oleh: Dwina
Sering aku melihatnya. Di gerbang sekolah tempat kami mengantar anak sekolah. Berawal dari hal yang kulihat unik dari dia, penasaranlah aku dibuatnya. Tapi aku tak cukup percaya diri untuk menyapa. Oh, Tuhan, kenapa dia cantik sekali? Modis cara berpakaiannya, riasannya yang begitu lembut, bahkan kerudungnya yang bergaya namun masih menjaga syariat islam.
Aku sudah minder duluan, seperti tak percaya diri untuk sekedar menyapa. Dalam hati kecilku, aku berpikir bahwa tidaklah mungkin aku diterima dalam pergaulan mereka. Aku yang tampil apa adanya, baju yang bahkan kubeli di distro kota bukanlah barang branded, riasan, apalagi aku selalu tampil natural alias tak merawat diri. Hahaha, aku tertawa miris.
Hari Senin tiba, aku berencana untuk bergabung kelas bahasa Arab di masjid komplek sekolah anakku. Setelah masuk ke lantai dua, aku menempatkan diri di salah satu tempat duduk dalam ruang belajar. Tak disangka, ibu yang selama ini membuatku penasaran duduk disebelahku. Kuberanikan diri untuk mengucap salam duluan.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
“Mbak sudah lama ikut kelas ini?”
“Iya, sudah beberapa kali.”
“Oohh… waaah pasti sudah mahir!”
“Haduh… biasa saja.”
Basa basi kami berlanjut pada perkenalan pribadi masing-masing. Ternyata dia pribadi yang ceria. Gampang akrab juga. Dan yang membuatku lebih terkejut, cerita kebiasaannya untuk ngaji, puasa untuk suami dan anak-anaknya. Tipe istri solehah dan kebanggaan suami kupikir. Kami seperti langsung cocok.
Malam harinya, aku memutuskan untuk mengirim pesan kepadanya. Akan tetapi, aku tunggu-tunggu balasan tak kunjung ada. Lalu aku berpikir, mungkin dia sudah melupakanku, seperti ibu-ibu yang lain yang mungkin merasa tidak selevel. Dalam hati tersenyum kecut akibat penampilan sederhanaku.
Setelah sholat subuh hari berikutnya aku periksa balasan pesannya. Aku kaget, begitu panjang balasan pesan darinya. Intinya dia minta maaf telat membalas karena sedang mengejar untuk mengkhatamkan bacaan Al-Qurannya.
Subhanallah, betapa bersyukurnya aku jika bisa terus berteman dengannya.
Lalu aku balas chat dia. Eh, ternyata dia sedang online. Kami pun saling bertegur sapa dan sedikit mengobrol. Makin lama, aku terkagum-kagum dengan kekhusyukannya. Usaha dia untuk menjadi istri yang solehah. Berkali-kali aku mendengar setelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga dia sering seharian duduk di sajadah karena mendoakan suaminya yang sedang ujian, atau sedang ada supervisi.
Masih segar dalam ingatanku ketika dia cerita tentang kekagetan suaminya. Pagi hari sang suami minta doa agar lancar dalam pemilihan ketua laboratori kampus hari itu. Sore hari pulang dari kantor suaminya mendapati dia masih memakai mukena dan memegang tasbih. Seharian dia ngaji, dzikir dan berdo’a untuk kelancaran suaminya dalam pemilihan ketua laboratori kampus. MasyaAllah….
Suatu saat, aku curhat tentang masalah pribadiku. Dia tunjukkan dalil-dalil serta referensi buku. Hal itu membuatku makin dekat dengannya. Belakangan, aku tahu ternyata dia istri seorang doktor di kampus ternama di kota kami. What a perfect life!
Belum lama, kami terpisah oleh jarak. Aku ikut suami pindah tugas di pulau lain. Persahabatan kami masih terjalin.
“Assalamu’alaikum, saudari surgaku.”
Masih saja merinding aku membaca sapaan tersebut. Meski sudah beberapa kali dia memakainya. Tak ada seorang pun temanku yang lain yang pernah memakainya. Kalimat yang indah sekali. Sebuah kalimat yang bermakna dalam tentang tujuan persahabatan ini. Selalu membuatku ingat untuk terus memperbaiki, membersihkan diri dengan beristighfar, ibadah, mendekatkan diri dengan Tuhan, menjadi istri salehah dan menjadi ibu yang dekat dengan anak-anak.
“Mbak, minta alamat rumahnya. Suamiku mau tugas ke situ, ada sedikit oleh-oleh dariku.”
“MasyaAllah, Mbak… Jangan repot-repot.”
“Hanya sedikit, nanti biar dikirim lewat delivery order dari tempat suamiku menginap.”
“Biar saya saja yang ambil Mbak, tolong beritahu di mana alamat suami Mbak menginap.”
Tidak mau semakin merepotkan, aku mendesak untuk menemui suaminya. Malu sekaligus bersyukur sekali dalam hati karena perhatian keluarga mereka. Seorang pejabat mau membawakan oleh-oleh untuk kami.
Awalnya, dalam hati khawatir karena belum pernah kenalan dengan suaminya. Singkat cerita, aku ajak suamiku menemuinya. Ternyata suaminya sama baiknya dengan dia. Alhamdulilah, ternyata suamiku dan suaminya nyambung dalam obrolan.
Sesudah pertemuan dengan suaminya kami pun ngobrol lewat chatting panjang lebar. Salah satunya ucap syukur kami tentang persahabatan istri yang lanjut dengan perkenalan antar suami. Sebuah anugerah jika persahabatan istri juga diridai suami. Terima kasih untuk selalu saling mengingatkan akan kebaikan.
Photo by Hasan Almasi on Unsplash