Rindu

Sri Rita Astuti

“Ibu!”

Aku menoleh ke arah pintu kantor asal suara yang memanggilku datang. Sosok gadis kecil berdiri sambil tersenyum menatapku.

“Oh, Kinar. Ada apa, Nak? Sini masuk!” ujarku setelah melihat siapa yang memanggilku tadi. 

Dia salah seorang muridku di kelas dua. Perlahan tubuh mungil itu berjalan memasuki kantor guru mendekati meja kerjaku. Takut-takut ia memandangku, kupandangi wajah dengan mata bulat di bawah barisan poni yang yang menjuntai di keningnya. Aku tersenyum agar ia berani berbicara.

“Ibu, maaf saya belum bisa mengumpulkan tugas,” ujarnya lirih.

“Kenapa Kinar belum mengerjakan?” tanyaku meminta penjelasan.

“Tidak ada kuota Bu, Bapak belum punya uang untuk beli kuota,” lirih ia menjawab. Aku tersenyum mendengar alasan yang meluncur dari bibir kecilnya.

“Ya sudah sekarang buku paketnya mana? Biar Ibu tandai mana yang harus kamu kerjakan,” tuturku lembut menenangkannya. Biasanya anak anak di kelas rendah memiliki rasa takut mendapat hukuman bila tidak mengerjakan tugas. Setelah kujelaskan  tentang tugas yang harus dikerjakan, kinar memasukkan bukunya ke dalam tas ransel kecil yang dibawanya.

“Terima kasih, Ibu!” ucapnya sambil tersenyum manis.

“Iya, besok lagi kalau gak ada kuota atau ada yang tidak jelas datang saja ke sekolah, ya,” pesanku sambil mengusap kepalanya.

“Iya Bu,” jawabnya sambil menganggukkan kepalanya. Lalu bergegas pamit sambil mencium tanganku. 

Aku mengembuskan napas perlahan. Ini salah satu kendala yang kutemui sejak pemerintah menetapkan proses belajar mengajar dilaksanakan secara online. Mengajar di sekolah pedesaan dengan penduduk rata rata berkemampuan ekonomi menengah ke bawah. Terasa sulit melaksanakan pembelajaran secara online. Sejak ini diberlakukan setahun yang lalu telah banyak orang tua murid yang mengeluhkan kesulitan mereka tentang bagaimana menjalani proses ini.

Tahun lalu ada orang tua murid yang mengeluhkan tidak memiliki HP android.  Dengan alasan suaminya hanya seorang buruh tani dengan penghasilan tak tetap. Sehingga anaknya tak bisa mengakses pembelajaran. Di sini tak ada warnet. 

Ada juga yang mengeluhkan ketakmampuan membeli kuota paket data. Karena suaminya di rumahkan di masa pandemi. Ataupun kerja yang tidak lancar karena tidak ada orderan pekerjaan bagi yang tukang bangunan.

Belum lagi kendala sinyal karena wilayahnya jauh dan harus menyeberangi sungai Kapuas. Jalan yang bisa kuambil akhirnya  meminta mereka datang ke sekolah seminggu sekali atau dua kali untuk mengambil soal yang harus mereka kerjakan di rumah. Dengan tetap mematuhi  protokol kesehatan.  Walau melanggar peraturan terpaksa kami laksanakan agar murid murid tetap bisa menerima pelajaran. Kadang nuraniku berontak karena rasanya tak adil buat mereka. Akupun sebagai guru tak bisa mentransfer pelajaran secara sempurna. Dengan terpaksa meminta kesediaan orang tua murid untuk saling bekerja sama membantu proses belajar anak di rumah. Walau banyak di antara orang tua murid mengeluh tak bisa karena rata rata mereka berpendidikan rendah bahkan ada yang tidak bersekolah.

Entah sampai kapan masa pandemi virus korona ini berakhir. Aku rindu ramainya sekolah dengan murid murid yang berlarian, rindu suara celotehan dan teriakan mereka, rindu mengajar di depan kelas lagi. Rindu ketika kami berbicara tak harus dibatasi masker.

Sungai Raya, 14072021


Photo by Hiroyoshi Urushima on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *