Oleh: Lia Nathalia
“Saya kondisinya baik-baik saja. Saya tidak merasakan gejala apapun walau dinyatakan positif. Yang saya sesali, karena saya tidak punya gejala apa-apa, orang tua saya tertular. Ayah saya tidak bertahan,” kata perempuan yang kutaksir berusia sekitar empat puluhan itu dalam salah satu tayangan di televisi nasional. Perempuan berkerudung coklat muda itu, sekuat tenaga menahan tangisnya.
Ceritanya hanya satu dari kisah yang mirip dan tiap hari makin sering kita dengar, entah dari pesan tertulis, video dan foto. Ada anak-anak yang berturut-turut kehilangan ayah dan ibunya dalam jangka waktu singkat.
Novel Corona virus 2019 atau dikenal luas sebagai virus Covid-19 telah merengkut lebih dari 4 juta orang di seluruh dunia, menurut Badan Kesehatan Dunia, WHO pada awal Juli 2021. Namun, masih banyak yang menganggap sepele virus ini.
Pagi kemarin, tetanggaku yang sepengetahuanku cukup taat dalam melaksanakan protokol kesehatan selama pandemi terjadi, menyampaikan kabar duka. Suaminya meninggal dunia karena virus mematikan ini. Awal-awal pandemi di tahun 2020, kami sempat bersama-sama ikut serta membagikan masker kepada warga. Tahun ini, virus itu menyudahi hari-harinya di dunia.
“Pendapatan kami turun 70 persen, Mbak. Tapi, setidaknya kami masih boleh buka toko. Masih ada pendapatan. Dan masih sehat,” kata Jajang,salah satu penjaga toko kelontong langgananku. Ungkapan yang kurang lebih sama, hari-hari ini didengar dari banyak orang.
Hari-hari ini, kita semua seperti disadarkan betapa penting menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Kita juga disadarkan bahwa sehat itu mahal dan berharga. Hal-hal yang selama ini kita anggap biasa, hari-hari ini kita syukuri sebagai hal-hal luar biasa.
Salam perpisahan yang kita lebih sering dengar sekarang selain hati-hati di jalan adalah tetap jaga sehat. Kalau sebelum pandemi, salam-salam semacam itu hanya diucapkan sambil lalu, saat ini rasanya itu diucapkan dengan kesungguhan. Ada harapan supaya kita tetap sehat dan bisa melewati pandemic bersama dengan selamat.
Kesadaran-kesadaran semacam ini muncul karena satu per satu sahabat, kerabat, kawan dan handai taulan pergi mendahului kita karena terkena Covid-19.
Kesulitan tak hanya dialami individu. Pemerintah negara-negara juga mengalami kesulitan. Kesulitan menjaga warga negaranya tetap sehat, sedikit yang terkena virus mematikan ini dan perekonomian dalam negeri tetap berjalan. Sudah pasti, berbagai upaya dilakukan.
Tanggapannya, banyak warga yang skeptis. Kritik datang bertubi-tubi. Yang tidak puas sudah pasti banyak.
Kadang, banyak yang lupa, pemerintah juga dijalankan oleh individu-individu yang mungkin juga mengalami kehilangan orang-orang terkasihnya.
“Tapi kan orang-orang di pemerintahan itu digaji oleh uang rakyat. Sudah sewajarnya mereka mengabdi pada rakyat,” begitu kira-kira argumen kebanyakan orang.
Benar semua argument itu. Tapi bukankah kita masing-masing juga punya andil menjaga jangan sampai bencana kesehatan ini tak berlarut-larut dan membuat situasi makin parah? Mau berapa banyak kita kehilangan orang-orang terkasih?
Photo by Cici Hung on Unsplash