Oleh: Etika Aisya Avicenna
Berat badan, warna kulit, tinggi badan, tebal alis, dan penampilan fisik lainnya sering menjadi penyebab terjadinya insecure pada diri seseorang. Terlebih di era media sosial saat ini ketika komentar netizen jauh lebih pedas, terlebih urusan body shaming. Hal ini membuat seseorang mengalami krisis percaya diri. Memang bukan hal mudah mengubah rasa insecure menjadi bersyukur, tapi insya Allah jika dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap kita telah diciptakan Allah dengan sebaik-baiknya, maka kita akan bisa belajar mencintai dan menjadi diri sendiri.
Manusia tercipta sebagai makhluk yang unik. Tidak seorang pun manusia yang sama persis antara satu dan yang lainnya, bahkan yang terlahir kembar identik sekalipun (contohnya saya dan saudari kembar saya.). Kita tidak perlu berkecil hati apabila kita “berbeda” dari orang lain. Perbedaan tersebut justru mempunyai banyak hikmah. Kalau setiap orang sama, tentu tidak akan muncul kreativitas dan inovasi yang berkembang lantaran setiap manusia berpikiran dan berpola sama.
Perbedaan yang ada hendaknya dipandang sebagai sebuah anugerah. Kenali potensi yang kita miliki untuk mengerjakan sesuatu yang bisa kita lakukan. Jangan sampai hal-hal yang tidak bisa kita lakukan menghalangi apa-apa yang seharusnya bisa kita kerjakan. Setiap kita pasti memiliki kelebihan yang tidak selalu dimiliki oleh orang lain.
Terkait upaya mencintai diri sendiri ini, kita dapat belajar dari sebuah cermin. Cermin berasal dari kualitas terbaik, begitu juga dengan diri kita. Bersyukurlah atas apa adanya kita karena kita telah diciptakan Allah Swt. dengan sebaik-baiknya. Selain punya kelebihan, tak sedikit juga kekurangannya. Kedewasaan kita berperan dalam menyikapi kelebihan dan kekurangan itu. Selayaknya kita harus mengetahui karakter diri serta kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.
Cermin adalah benda yang bermanfaat. Oleh karena itu, jadikan diri kita bermanfaat untuk orang lain. Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi sekitarnya. Keimanan, ketakwaan, dan kesalehan pribadi atau kebaikan perilaku kita masih harus disempurnakan dengan memberikan manfaat kepada sekitar.
Cermin tak pernah berdusta. Cermin mengajarkan kita, jangan berdusta pada diri kita sendiri, terlebih pada orang lain. Jangan berdalih akan kekurangan kita. Jadilah apa adanya kita. Kekurangan dalam diri hendaknya menjadi modal untuk terus memperbaiki diri sehingga saat kita bercermin, senyum optimislah yang akan tergambar di sana.
Cermin itu perlu dibersihkan dan dijaga. Kalau tidak dibersihkan, akan banyak debu yang menempel di permukaan cermin itu dan kalau tidak dijaga, cermin bisa rapuh dan pecah. Seperti halnya dengan diri kita. Kalau tidak pandai bersyukur atas anugerah yang diberikan Allah Swt., kalau tidak bersih dari penyakit hati dan jauh dari Allah Swt., kita akan menjadi sangat rapuh. Ingat dua potensi manusia, taat atau ingkar, itu adalah pilihan.
Oleh karena itu, memperbaiki hubungan kita dengan Allah Swt. dengan memperbanyak syukur, insya Allah kita akan makin mencintai diri sendiri. Syukuri apa adanya kita karena inilah anugerah terindah yang Allah Swt. berikan pada kita. Namun, kita perlu berubah dan tidak hanya jadi diri sendiri seperti saat ini. Jangan cepat puas dengan keadaan kita sekarang. Hidup adalah rangkaian proses. Oleh karena itu, teruslah berproses ke arah perubahan yang lebih baik.
Setiap hari adalah kesempatan untuk memperbaiki diri
Setiap menit adalah modal untuk melejit
Setiap detik adalah titik untuk meraih prestasi terbaik.
Setiap kita adalah unik dan istimewa
Etika Aisya Avicenna
Terlahir kembar pada 2 Februari. Saat ini berprofesi sebagai statistisi (ASN). Senang membaca, menulis, jualan online di @supertwinshop, dan jalan-jalan. Ada puluhan karya anggota FLP DKI Jakarta ini yang sudah diterbitkan baik solo, duet, maupun antologi, seperti: “The Secret of Shalihah”, “Diary Ramadhan”, “Dongeng Nyentrik Alesha”, dan lainnya. IG: @aisyaavicenna
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash