Hari ini aku keluar rumah lagi. Tujuanku adalah sebuah kampus di selatan Jakarta. Bukan kampus negeri, tapi kampus yang aku impi-impikan. Hari ini adalah pengumuman hasil seleksi penerimaan mahasiswa baru. Apakah aku akan diterima? Entah.
Sejak aku “bertukar” karakter dengan Cha, aku mulai sering keluar rumah. Berawal dari aku mencari kampus, mengurus pendaftaran, hingga tes di beberapa kampus. Semua aku kerjakan sendiri. Aku berani keluar rumah sendiri meski masih menganggap manusia lain adalah sosok yang menakutkan.
Setelah apa yang terjadi selama aku di asrama, aku cenderung takut pada orang lain. Jangankan berinteraksi, bertemu saja aku takut. Traumaku sepertinya cukup dalam atas kesakitan-kesakitan yang pernah mereka buat pada mentalku. Memang, aku kini tidak lagi di asrama, tapi pengalaman itu sangat membekas. Aku bahkan tidak ikut acara perpisahan sekolah, dan memilih mengambil ijazah lebih dari seminggu usai pengumuman.
Sehari-hari, aku memilih mengurung diri di kamar, membenamkan diri pada tulisanku tentang kisah-kisah Cha yang bahagia. Aku jadi ikut menikmati kisahnya, membayangkan aku yang berada di posisinya. Hingga suatu hari, Cha melontarkan ide gilanya.
“Kamu nggak pengen keluar rumah?” tanyanya.
“Nggak. Banyak orang jahat.”
“Mau sampe kapan?”
Aku mengedikkan bahu.
“Kamu harus berani. Aku nggak suka lihat kamu begini doang.”
“Tau, ah! DI luar serem. Enakan di sini aja sama kamu.”
“Biar aku jadi kamu dulu sebentar. Aku mau kasih lihat kamu kalau di luar nggak yang kayak kamu pikirin. Sekalian kita cari kampus, daripada kamu nangis-nangis mulu ngerasa nggak disekolahin.”
“Tapi—“
“Deal! Nggak terima penolakan!”
Jadilah, sejak hari itu aku mulai berani keluar. Awalnya keluar kamar. Biasanya aku keluar kamar hanya untuk makan, mandi, dan berwudhu. Kini, aku mencoba untuk duduk, menonton teve, dan sedikit ngobrol dengan kelurgaku. Aku bicarakan rencana-rencana belajarku, juga kampus yang akan menjadi tempat uji otak. Hei, itu bukan aku yang meminta, tapi Cha. Aku mana punya rencana begitu, apalagi sampai uji otak segala.
Lalu, kami pergi ke beberapa kampus, mencari tahu banyak hal. Aku tertarik pada satu kampus Jurnalistik karena aku sepertinya menyukai bidang itu. Cha tidak memilih. Dia hanya mengincar kampus negeri untuk uji otak.
Dia bilangnya uji otak. Alasannya, semua soal yang ada di ujian tidak pernah aku pelajari semasa di asrama. Kurikulum kelasku memang tidak dirancang untuk kuliah di dalam negeri. Kalau di dalam negerri pun hanya kampus-kampus tertentu. Ini seperti aku menguasai satu bidang dan bego di bidang lain, dan Cha juga seperti itu.
“Janji, kalau keterima di negeri, kamu nggak nyolot minta masuk situ. Aku nggak minat.”
“Iya! Aku juga nggak mau, kok. Sekadar ikut tes aja.”
Hasilnya? Kini, aku ada di kampus Jurnalistik itu, memegang surat pemberitahuan jadwal daftar ulang berikut biaya daftar ulangnya. Cha yang mengisi soal-soal tes masuk, bukan aku. Kepalaku justru pusing membaca soalnya. Dia juga yang menggambar di lembar tes psikologi. Katanya, kalau aku yang gambar, penguji bisa tahu tentang kepribadianku yang aneh dan takut orang, sedangkan jurnalis tidak boleh takut orang. Terserah. Yang penting, sekarang, aku diterima di jurusan pilihan pertamaku.
Dia? Lolosnya aku di ter masuk kampus itu hanya satu dari keberhasilannya. Kampus negeri juga berhasil dia terobos untuk fakultas komunikasi. Masih ada dua kampus lagi yang kami lulus tesnya. Dia bahagia dan mengajakku bergembira sepanjang hari.
“Ra, kalo kamu nggak jadi kuliah, gimana?” tanyanya, saat kami sudah di rumah.
“Kok gitu?”
“Nggak. Nanya aja.”
“Aku sih, maunya sekolah. Aku mau masuk SMA. Aku belum ngerasain jadi anak SMA.” Entah kenapa, aku selalu merasa sebagai anak putus sekolah yang tidak pernah merasakan tingkatan SMA. Pendidikanku mentok di SMP.
“Hadeuh … ya udah, nanti aku cariin alternatif, seandainya kamu nggak jadi kuliah di situ.Biar nggak error banget.”
“Emang ada apaan, sih?”
“Nggak ada apa-apaan. Udah, istirahat, sana!”
Aku mengambil kembali buku tulis dan sebatang ballpoint yang tergeletak di rak dekat kasurku. Sambil tiduran, aku mulai menulis lagi, seperti biasa, tentang kisah bahagia Cha. Hingga aku mengantuk dan perlahan nyenyak.
Cerita sebelumnya: Sedikit Balasan