Treng… treng… treng…
“Mang, Buburr!”
“Siaaappp…!”
Mang Karjo menata kursi plastik warna hijau, lalu mengelap meja dengan kanebo. Memastikan meja dan kursi rapi dan bersih, kemudian membuka gorden penutup bahan-bahan bubur.
“Bungkusin dua puluh, Mang!”
“Alhamdulillah, banyak bener, Pak Haji?”
“Jum’at barokah, atuh!”
Mang Karjo tersenyum. Dengan cekatan menata beberapa styrofoam putih dan mengisinya dengan bubur dan topping.
“Baca bismillah, Mang!”
“Siap, Pak Haji!”
“Padahal, setiap ngasih topping kamu sambil baca sholawat, tak terkira dapat keberkahan” tambah pak haji Darma menceramahi.
Cekiiittt….!
“Astaghfirullah!!”
Seorang anak yang barusan menyebrang jalan sembarangan berlari cepat, kabur ke gang sebelah pom bensin. Orang-orang yang berada di warung bubur terkaget-kaget.
“Duh aya-aya wae barudak!”
“Pak Haji betul juga pemikirannya tadi, daripada saya ngelamun mendingan sambil baca sholawat,” tambah bang Karjo tersenyum lebar. Tangannya yang tertutup sarung tangan plastik masih sibuk mengatur komposisi bubur dalam wadah.
Mang Karjo sudah kenal cukup lama dengan Pak haji Darma. Pak haji yang suka ceplas-ceplos ini asli Betawi. Dia berlangganan bubur sudah sangat lama. Seorang yang baik hatinya.
“Sudah berapa lama ente jadi tukang bubur?” tanya Pak Haji sambil membetulkan kaca matanya yang tebal. Sorban hijau menghiasi kepalanya.
“Makanya ente kalau mau kaya, buat cita-cita yang tinggi! Cita-cita kok jadi tukang bubur” ucap pak Haji tertawa. Matanya menyipit, maskernya bergerak-gerak.
“Ha… ha… Pak Haji bisa aja. Saya mah bersyukur aja dengan apa yang didapat,” tukas Mang Karjo. Sama sekali tak tersinggung dengan gurauan Pak haji.
“Halah, ente terlalu cepat puas. Makanya hidup ente susah terus kan?” ujar pak Haji Darma terbahak-bahak.
“Betul… betuuul! Hidup memang harus banyak bersyukur dan mawas diri” ujarnya kemudian sambil mengangguk-angguk.
“Sekolah libur terus! Gimana ini pemerentah?!” tiba-tiba seorang laki-laki berbadan tambun datang dan duduk begitu saja depan Pak Haji.
Pria tadi mengambil dua tusuk sate telur puyuh sekaligus, lalu memasukkannya ke dalam mulut.
“Guru makan gaji buta tuh, Pak Haji,” ujarnya sambil mengunyah.
“Eh, ente datang-datang nebar virus. Tau dari mana ente, kalo guru makan gaji buta?” tanya Pak Haji keheranan.
“Bungkus dua, Bang!”
“Siap Bu, sebentar ya!’
Seorang ibu dan anaknya datang memesan. Anak kecil berkerudung itu tampak takut bersembunyi di balik badan ibunya.
“Duduk, Ibu!” Pak haji menyodorkan kursi yang tadi ditempatinya. Lalu dia berdiri mendekati Bang Karjo yang sudah menyelesaikan pesanannya, 20 bungkus.
“Mending jadi guru, Bang Karjo, makan gaji buta,” ujar pria tadi masih keukeuh ngomongin guru.
“Ish ada-ada aje, ente. Seburuk-buruk guru, dia pernah mengajarkan anak ente satu huruf atau satu kebaikan,” nasihat Pak Haji.
“Iya betul, meskipun sekolah ditutup, saya lihat kerja guru malah lebih repot,” ucap Ibu tadi tersenyum dari balik masker yang berwarna senada dengan kerudungnya.
Nguing… nguing… nguing…
Sebuah ambulan berlalu dengan cepat. Di belakangnya beberapa mobil yang mengiringi juga ikut terburu-buru.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun”
Masa pandemi ini memang luar biasa. Banyak hal baru dan kebiasaan baru yang dihadapi seluruh masyarakat dunia. Perlu keimanan dan kesabaran dalam menghadapinya, agar tak mudah terprovokasi.
Sejak lebaran, penderita Covid meningkat signifikan. Korban yang meninggal setiap hari semakin banyak.
Tetapi ada saja orang yang tak mentaati aturan, kadang memakai masker saja tidak mau. Bahkan mentertawakan orang lain yang ketat menjaga protokol kesehatan.
“Saya pamit, Mang Karjo. Maaf Maaf kalau becandanya kelebihan,” ujar Pak Haji sambil tertawa. Lalu dia menepuk-nepuk pundak Bang Karjo tanda meminta maaf.
Pak Haji segera berlalu menuju mobil yang terparkir di seberang jalan.
Brakkk!!!
Sebuah Avanza putih berhenti melintang. Mobil dan motor di belakangnya semua mengerem mendadak.
Di atas aspal, bubur dan styrofoam berhamburan. Sesosok tubuh bersurban hijau terbujur kaku di tengah jalan.
Photo by Misbahul Aulia on Unsplash