Oleh: Lia Nathalia
Berita duka datang silih berganti. Belum lagi kabar yang jatuh sakit, baik karena virus yang lagi naik daun, atau karena penyakit lain. Sudah lebih dari satu tahun setengah ini, berbagai kabar duka berseliweran.
Entah sudah berapa kawan atau kenalan telah pergi mendahului, menghadap Sang Pemberi Hidup. Hari-hari ini, hamper semua kita merasa lebih was-was dari biasanya. Kian hari, yang meninggal atau jatuh sakit, lingkarannya makin mengecil ke lingkaran kita.
Sayangnya, masih banyak yang tak percaya kalau virus Covid-19 itu ada. Masih banyak yang sibuk memikirkan teori konspirasi, teori ini dan itu, tanpa melihat prioritas mana yang utama.
Sudah satu tahun lebih kita harus berakrab ria dengan suasana di mana virus Novel Corona 2019 atau popular sebagai Covid-19 ada di sekitar kita. Virus ini tak terlihat oleh mata telanjang, tapi kehadirannya nyata terasa. Dari mana kita tahu virus Covid-19 ada? Dari orang-orang yang kita kenal, orang-orang di sekitar kita, orang-orang terkasih kita yang harus merasakan terkena virus ini.
Mereka ada yang hanya mengalami flu ringan, kemudian sembuh. Ada yang bahkan tak merasakan gejala yang berarti. Namun, ada pula yang berakhir pada kematian.
Virus ini hanya virus flu. Tapi, ini virus flu yang bisa berakibat maut. Dampak virus ini tak hanya pada fisik manusia. Banyak negara perekonomiannya hancur. Angka pengangguran diikuti kemiskinan meningkat sudah pun meningkat. Ini tentu berujung pada daya beli masyarakat yang menurun, yang ujung-ujungnya membuat deflasi ekonomi. Pemutusan hubungan kerja banyak itu karena ada pembatasan pergerakan atau mobilitas orang serta aktivitasnya, demi meminimalisir penularan virus flu ini.
Di Indonesia, pembatasan pergerakan orang dan aktivitas orang namanya bermacam-macam. Bahkan sampai saya pun sudah lupa. Yang terakhir adalah PPKM Darurat, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat.
Di negara lain namanya macam-macam. Istilah kerennya ya lockdown. Virus Covid-19 juga tak mau kalah aksi. Dia terus bermutasi jadi varian-varian baru. Ibarat makanan, topping-nya beda-beda. Ada varian Kappa, Alpha, Delta dan terakhir menurut para pakar namanya varian Lambda. Dari tiap varian itu, masih ada lagi sub varian.
Menurut Kementerian Kesehatan RI, sudah lebih dari 600 sub varian virus Covid-19 ditemukan di Indonesia. Paling banyak, atau lebih dari 400 sub varian yang ditemukan itu berasal dari varian Delta, yang saat ini dianggap sebagai varian yang paling mematikan, karena angka kematian yang disebabkan oleh varian ini, memang paling banyak dan sangat cepat penularannya. Dalam lima detik berpapasan dengan pembawa virus varian Delta, kita sudah bisa terpapar, walau tidak bersentuhan.
Bila imun tubuh tidak kuat, masa inkubasi varian ini sangat cepat, dalam sehari, seseorang sudah bisa merasakan flu dan tanda-tanda penyerta lain, umumnya gejala kasus Covid-19. Kalau imun tetap lemah, maka bisa ditebak ujungnya.
Saya tak bermaksud menakuti-nakuti, tapi inilah keprihatinan saya ketika banyak orang masih menganggap virus Covid-19 ini adalah sebuah rekayasa, teori konspirasi ditambah macam-macam berita hoax yang bermunculan.
Meningkatkan imun tubuh itu selain makan sehat, tidur teratur, jaga protokol kesehatan, juga harus ditambah dengan imunisasi atau vaksinasi. Seperti saat masih balita, kita saat ini dalam situasi wabah, jadi perlu meningkatkan imunitas tubuh dengan imunisasi atau vaksinasi.
Menurut pakar epidemologi, imuniasasi bukan hanya berguna untuk meningkatkan imun tubuh seseorang, tapi juga mencegah virus bermutasi menjadi varian-varian atau sub-sub varian baru yang mungkin lebih mematikan.
Kami yang berada di sektor kerja esensial dan perlu tiap hari bekerja ke kantor, satu per satu mulai tumbang. Tenaga kesehatan juga demikian. Belum lagi kabar duka datang silih berganti dari teman, sahabat, kerabat, handai taulan.
Lupakan arogansi kita, mari jaga orang-orang terkasih. Selalu berpikir positif. Ikhtiar baik kita menjaga diri sendiri dan orang-orang terkasih, tentu dengan doa semoga pandemi ini segera berlalu dan kita selamat sampai melewatinya.
Photo by Markus Spiske on Unsplash