Oleh: Denik
Aku bergegas keluar dari kamar saat terdengar suara bel berbunyi tiga kali. Berarti bukan keisengan anak-anak yang lewat. Tetapi memang ada yang bertamu ke rumah.
Sebab tak jarang anak-anak sekitar komplek perumahan memencet bel tiap kali melintas di depan rumah. Namun hanya sekali memencet belnya. Namanya juga iseng. Jadi aku sudah bisa menandai mana bunyi bel iseng dan mana bunyi bel dari tamu.
Seperti sore ini. Bunyi bel terdengar tiga kali. Berarti ada orang yang datang untuk bertamu. Kulihat dari balik tirai seorang remaja laki-laki berkemeja putih berdiri di depan pagar. Wajahnya terhalang pohon di dekat pintu. Sehingga aku tak mengenali tamu tersebut.
“Sebentar. Siapa ya?” kataku seraya membuka pintu tengah.
“Aku Kak. Adul.”
“Eh, kamu Dul. Kakak kira siapa. Biasanya WA dulu kalau mau datang.”
“Aku WA kok. Tapi masih centrang dua. Berarti belum kakak baca.”
“Oh, iya, ya? Maaf kalau gitu. Kakak memang belum cek WA sejak tadi.”
“Masuk-masuk,” kataku setelah membuka pintu gerbang.
Remaja lelaki yang kupanggil Adul segera menuju teras dan duduk di kursi yang biasa ia duduki saat berkunjung ke sini. Tas kanvas berwarna hijau lumut ia letakkan di atas meja.
“Kamu dari mana pakai seragam putih hitam seperti ini? Jangan-jangan kamu sudah…”
“Betul sekali Kak. Aku sudah bekerja. Makanya aku datang ke sini. Ini terimalah Kak hasil dari gajian pertamaku.”
“Wah, kok enggak cerita-cerita sih?”
“Biar surprise.”
“Weh, kamu ini. Tapi selamat ya? Kakak ikut senang. Terima kasih lho dibawakan oleh-oleh.”
“Sama-sama Kak. Aku yang seharusnya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Karena berkat Kakak aku sekarang bisa bekerja.”
“Terima kasih atas spirit dan support yang Kakak berikan selama ini. Sehingga aku memiliki keyakinan dan semangat untuk bekerja,” ujar Adul penuh perasaan.
Aku tersenyum. Ada perasaan haru menyelusup di relung hati ini melihat sinar kebahagiaan yang terpancar di wajah Adul. Aku masih ingat bagaimana tampangnya saat pertama kali aku melihatnya. Rambut kusut, pakaian berantakan, jalannya letoy alias tak ada semangat untuk hidup.
“Saya Adul Kak. Saya disuruh ibu ke sini karena Kakak minta tolong carikan orang untuk memperbaiki genting ya? Saya yang akan memperbaiki Kak.”
“Oh, jadi kamu anaknya bibi Lusi?”
“Betul Kak.”
“Kalau begitu tolong….”
Aku pun langsung memberinya instruksi. Bibi Lusi adalah tukang kue yang mangkal di ujung jalan rumahku. Ia warga asli sini yang kerap dimintai tolong oleh orang-orang komplek. Orangnya ramah, baik dan tidak banyak bicara.
Aku beberapa kali menggunakan jasa Bibi Lusi. Termasuk urusan kali ini. Yang rupanya ia utus anaknya sendiri.
Aku perhatikan gerak-gerik anak Bibi Lusi yang cukup cekatan dalam bekerja. Hasil kerjanya pun memuaskan.
“Berapa usiamu, Dul?” tanyaku saat menyuguhkan minuman untuknya usai ia selesai memperbaiki genting.
“19 tahun Kak.”
“Wah, masih muda. Tapi kenapa tampangmu terlihat lebih tua?”
Aduk nyengir mendengar pernyataanku.
“Memang iya Kak? Tampangku terlihat tua?”
“Iya. Seperti usia 25-an. Makanya kaget kamu sebut masih 19 tahun. Maaf ya? Jangan tersinggung.”
“Enggak kok Kak. Aku malah senang ada yang ngomong jujur begini.”
Itulah pertama kali aku mengenal Adul. Sejak itu ia yang kerap datang tiap kali aku membutuhkan orang untuk suatu hal. Membersihkan taman. Mengecat pagar dan lain-lain. Katanya daripada ia nganggur di rumah. Lebih baik mengerjakan pekerjaan yang kuberikan. Upahnya lumayan untuk jajan. Begitu alasannya.
“Kamu jangan mengandalkan pekerjaan serabutan seperti ini terus. Coba kirim lamaran ke berbagai tempat. Pasti ada salah satu yang lolos.”
“Sudah Kak. Tapi hasilnya nihil. Makanya aku malas kirim-kirim lamaran lagi,” ujar Adul.
“Ya kamu tidak boleh menyerah. Harus terus dicoba. Perbaiki dulu penampilanmu. Kamu tuh ganteng lho kalau lebih rapi sedikit.”
“Ah, kakak bisa saja,” sahut Adul tersipu.
“Beneran. Coba aja nanti kamu ngaca di rumah.”
Adul terlihat senyum-senyum salah tingkah. Dasar bocah kataku dalam hati. Aku jadi teringat adik laki-laki semata wayangku yang telah tiada. Jika masih hidup pasti sebesar Adul.
Aku anggap Adul seperti adik sendiri. Makanya aku bisa menasihati dia saat dia mulai mengeluh atau curhat tentang hidupnya.
“Kamu jangan pesimis. Harus semangat menjalani kehidupan ini.”
“Tapi Kak. Gimana mau semangat mencari pekerjaan. Orang yang sudah bekerja saja banyak yang di PHK. Perusahaan banyak yang gulung tikar. Efek pandemi Kak.”
“Itu kan berita yang kamu dengar. Kenyataannya tidak begitu juga. Walau memang ada yang seperti itu.”
“Kamu percayakan saja semua hidupmu pada Sang Pencipta. Dia lho yang kuasa atas segala sesuatunya. Yang penting kamu yakin, jangan berhenti berdoa dan tentu saja berusaha. Ini beberapa informasi lowongan pekerjaan yang mungkin cocok buat kamu. Coba saja kamu kirim. Tidak semua pengusaha gulung tikar. Buktinya perusahaan ini membuka lowongan pekerjaan.”
Awalnya Adul tidak bergairah untuk melamar pekerjaan lagi. Setelah kunasihati segala macam akhirnya ia bergerak juga.
“Kamu laki-laki. Kelak akan menghidupi anak orang. Jadi harus memiliki pekerjaan yang tetap dan memadai. Bagaimana kamu mau membahagiakan orang lain kalau kamu sendiri enggak bahagia? Memang kamu bahagia tidak punya penghasilan sendiri? Sedih tahu. Mau ini itu uangnya tak cukup.”
Bla, bla, bla aku menceramahinya panjang lebar. Satu bulan kami sempat tak berkomunikasi. Kupikir ia marah. Ternyata kemunculannya yang tiba-tiba membuatku tersenyum bangga.
“Ini hasil gajian pertamaku lho Kak. Semoga suka ya, Kak?”
“Tentu suka sekali. Terima kasih banyak. Pakai repot-repot segala. Mendengar kamu sudah bekerja, kakak senang banget. Tapi sekaligus sedih. Sekarang kalau mau minta bantuanmu sudah tidak bisa lagi deh.”
“Tenang Kak. Aku akan tetap siap sedia membantu Kakak. Asal minta tolongnya saat aku libur kerja ya?”
“Wah, asik. Benar ya?”
“Sungguh Kak. Kakak itu sudah kuanggap kakak sendiri. Jika tidak bertemu dengan Kakak, mungkin aku belum bekerja sampai sekarang. Semangat yang kakak berikan membuatku terlecut. Tak ada pandemi bagi Tuhan. Dia akan senantiasa mencurahkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya di dunia. Tak ada sekat tak ada penyekatan. Semua mengalir sesuai yang sudah Dia tetapkan.”
Mataku berkaca-kaca. Aku terharu. Anak remaja laki-laki yang dulu kusut tak punya gairah hidup ini, sekarang terlihat dewasa dan bijaksana. Aku tidak menyangka bahwa ucapan-ucapan yang kulontarkan saat ngobrol dengannya di teras ia camkan baik-baik dalam hati. Terima kasih pada semesta yang telah mendengar perbincangan kami. Bahwa ucapan adalah doa, nyata adanya. (EP)
Photo by Jonathan Klok on Unsplash