Rasanya Menjadi Sarjana Psikologi Saat Pandemi

Oleh: Delfitria

Hari ini, aku baru saja selesai mengikuti rapat kelompok dukungan psikologis yang dilaksanakan secara sukarela oleh para tenaga psikolog untuk menghadapi masalah psikologis pesertanya. Pesertanya adalah para relawan COVID-19 yang sudah merasa burnout dengan kondisi pandemi. Ya, masalah psikologis menjadi sorotan selama pandemi. Bagaimana tidak? Kebutuhan manusia akan interaksi sosial tidak dapat dipenuhi bahkan rutinitas menjadi terbatas dalam jangka waktu yang panjang. Tidak hanya keterbatasan akses, berita kehilangan dan ketiadaan solusi atas situasi sekarang berhasil membawa manusia rentan terhadap masalah psikologis. Aku sebagai sarjana Psikologi sudah terbiasa setiap hari membaca direct message mengenai seseorang yang ingin menyerah dan berhenti dari hidupnya.

Kini kami sadar bahwa kebutuhan psikologis sangat dibutuhkan juga untuk para tenaga kesehatan. Lihat, bagaimana mereka bekerja dengan waktu istirahat yang sedikit. Setiap hari mendengar berita duka. Belum lagi, mereka orang pertama yang memutuskan siapa yang harus diselamat. Pasti berat. Sangat berat. 

Banyak upaya yang harus dilakukan selain dukungan psikologis. Pembahasan mengenai psikoedukasi yang praktis juga akan segera naik menjadi sumber informasi dan relaksasi bagi siapapun yang sedang merasa tertekan. Kami yang mempelajari ilmu psikologi sangat paham mengapa angka depresi dan kecemasan meningkat, tingkat burnout dan overwhelmed semakin sering terdengar. Belum lagi orang sekitar yang bilang, “Covid tidak nyata!” ketahuilah, itu hanya menambah derita psikologis saja. 

Di titik ini, aku yang belum menjadi seorang Psikolog. Jumlah psikolog di Indonesia pun diklaim kurang dalam menghadapi masalah psikologis masyarakat yang terdampak karena pandemi. Organisasiku merasa mencari tenaga psikolog pro bono untuk kolaborasi dalam gerakan dukungan sosial ini. Aku yakin, banyak psikolog yang jadwalnya penuh karena permintaan konseling semakin tinggi. Aku yakin, banyak psikolog yang juga burnout karena klien-kliennya terbatas dalam pengobatan saat ini. Kericuhan ini membuatku, yang hanya sarjana Psikologi, merasa tidak berdaya dan lemas sekali. 

Di titik ini, aku masih merasa tidak berdaya. Aku sebagai lulusan Psikologi (baru setahun) berusaha untuk memberikan psikoedukasi, terlibat dalam gerakan-gerakan relawan, hingga turun langsung hingga nantinya menjadi konselor saat benar-benar sudah diminta ‘turun’. Di titik ini aku berpikir, tidak hanya lulusan Psikologi, kamu, siapapun latar belakang kamu sepertinya sudah harus menjadi Duta Kesehatan Mental. Layaknya seorang duta, tugas kita adalah memberikan pencegahan dan edukasi bagi siapapun demi kesejahteraan mentalnya. 

“Masyarakat butuh kekuatan! Masyarakat butuh edukasi untuk bisa menguatkan diri sendiri!”

Dulu saat masih menjadi mahasiswa, dosenku pernah bilang bahwa semua lulusan Psikologi adalah Duta Kesehatan Mental. Orang yang pertama kali akan sebisa mungkin tidak bersikap mengganggu kesehataan mental orang lain. Orang yang pertama kali akan mengarahkan bantuan psikologis bagi orang lain. Orang yang pertama kali akan membuat orang lain hidupnya lebih ringan, lebih sejahtera psikologisnya. Tapi bagaimana jika duta itu kekurangan tenaga? Atau justru duta itu sendiri yang sedang mengalami masalah kesehatan mental?

Ya, di titik ini, aku membutuhkan bantuanmu. Tidak butuh upaya yang khusus, aku rasa semua orang bisa menjadi Duta Kesehatan Mental.  Membangun optimisme, menyampaikan berita yang benar, dan menjaga ucapan selama pandemi bisa meringankan beban mereka yang sedang mengalami masalah psikologis. Banyak sekali yang berduka, jangan sisakan luka apalagi dari kata-kata!


Photo by Dan Meyers on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *