Flash Fiction Pio: Pak Narto

Namanya Pak Narto, usianya se­kitar empat puluh lima sampai lima puluh tahunan. Tukang angkut sampah di komplek kami. Dua hari sekali dia datang ke komplek untuk mengangkut sampah.

Biasanya kami memberinya uang setiap kali dia datang. Umumnya dua ribu rupiah. Namun, kalau sampahnya banyak, ya lebih. Apalagi kalau habis bongkar-bongkar di dalam rumah, bisa ngasih dua puluh ribu rupiah. Kalau di rumahku habis menebang pohon jambu atau mangga, ngasih lima puluh ribu rupiah. Sebelum lebaran Idulfitri kemarin, aku menyuruhnya membuang satu set kursi tamu yang sudah rusak dan aku memberinya tiga puluh ribu rupiah.

Tempat pembuangan sampahnya tidak terlalu jauh. Dan, nanti, beberapa hari sekali truk datang untuk mengangkut sampah-sampah itu.

Dulu, sebelum Pak Narto yang jadi tukang angkut sampah, ada Pak Paijo. Ugh, malasnya bukan main. Kalau ngambil sampah bisa lebih dari seminggu. Bayangkan, baunya kayak apa! Kadangkala, keranjang sampah sudah ditambah beberapa karung dulu baru dia datang.


“Bu, saya nggak jadi pinjam uang,” kata Bu Narto seraya mengangsurkan dua lembar seratus ribuan padaku.

Sore ini dia datang ke rumahku, kami duduk di kursi teras. Aku cukup akrab dengan Bu Narto. Sesekali dia datang untuk berbincang, atau aku yang ke rumahnya mengantar makanan. Tadi pagi dia datang untuk meminjam uang. Pipit, anak bungsunya ditagih bayaran.

“Lho? Nanti, buat bayaran sekolah Pipit gimana?”

“Udah ada, Bu. Bapaknya dapet uang.” Bu Narto menunjukkan senyum cerianya. “Dari Pak Jodi, yang mau jadi caleg itu.”

“Oh, ya?” Aku antusias. “Gimana ceritanya?”

“Bapaknya lho Bu, waktu lagi benahin sampah ketemu map. Isinya ijazah Pak Jodi. Langsung dianter Bapak.”

Aku menyimak betul semua ceritanya. Betapa baik hatinya Pak Narto yang langsung mengantar map berisi ijazah itu ke rumah Pak Jodi, padahal dia sendiri lelah usai bertugas. Dia menuturkan pada istrinya, kalau saat ia mengantar, Pak Jodi sedang kalang kabut mencari ijazah tersebut. Suara marah-marah pada istrinya terdengar hingga luar. Pak Narto datang seakan dewa penyelamat.

“Si Bapak nggak mau terima waktu Pak Jodi kasih uang. Kata Bapak, Bapak cuma balikin ijazah kebuang. Pak Jodi maksa, Bu. Jadi deh, diterima sama Bapak.”

“Alhamdulillah banget, Bu. Rezeki,” timpalku.

“Iya Bu, lima ratus ribu! Makanya saya nggak jadi pinjem uang Bu Daniel.”

Rezeki yang sangat besar untuk keluarga Pak Narto. Penghasilannya dari angkut sampah tidak seberapa. Untuk sehari-hari, dia mengandalkan dari pemberian warga saat mengangkut sampah. Beruntung, warga komplek sini pengertian. Pak Narto tidak pernah pulang tanpa uang sepeser pun. Bahkan, sering ada yang memberinya lauk atau pakaian.

“Saya permisi dulu, Bu. Udah sore, nih,” pamit Bu Narto.

“Eh, sebentar, Bu!”

Aku bergegas masuk ke rumah. Di dapur masih ada beberapa botol sirup dan beberapa kaleng biskuit pemberian dari kerabat saat lebaran lalu. Aku ambil masing-masing satu, dan aku masukkan dalam tas goody bag yang menumpuk di rumah. Lekas aku kembali ke teras, dan memberikannya pada Bu Narto.

“Ya Allah Bu, repot-repot banget,” ucap Bu Narto.

“Buat Pipit sama Fandi,” kataku.

“Makasih banyak, Bu. Mudah-mudahan rezekinya ditambah sama Allah.”

“Aaamiiin.”

Dengan senyum yang masih sumringah, Bu Narto beranjak dari rumahku. Ada kelegaan yang terpancar dari senyumnya itu. Aku juga ikut senang karena masalah keuangan keluarga mereka dapat terselesaikan tanpa harus berutang. Allah memang selalu memberikan jalan keluar dari arah yang tidak diduga bagi hamba-Nya.


Lebaran Haji telah berlalu seminggu, tapi sampah yang menumpuk belum juga diangkut Pak Narto. Baunya sudah tidak tahan. Apalagi bekas tulang-tulang kambing. Ibu-ibu komplek sudah resah. Di mana-mana topik pembicaraan selalu sampah.

“Pak Narto ke mana sih ya, Pa? Kok sampahnya nggak diangkut-angkut?” tanyaku pada suamiku.

“Jangan-jangan sakit, Ma.”

“Iya, mungkin. Belum pernah dia sampai seminggu nggak ngangkut sampah.”

“Coba aja tanya ke ibu-ibu lain, Ma. Barangkali ada yang tau,” usul suamiku.

Aku mengangguk, mengiyakan. Kebetulan, nanti sore aku ada jadwal senam dengan ibu-ibu RT. Mungkin saja ada di antara mereka yang tahu alasan Pak Narto belum mengangkut sampah. Kalau memang dia sakit, kami bisa berembuk untuk mencari solusi, juga membawanya berobat.


Sudah kuduga, topik pembicaraan di senam kali ini adalah sampah yang sudah meluber ke mana-mana. Semua mengeluhkan timbunan sampah di depan rumah mereka yang baunya sudah masuk ke dalam rumah. Malah, ada juga yang tong sampahnya sudah dipenuhi belatung. Aku mendekati Bu Agung, orang yang rumahnya paling dekat dengan Pak Narto.

“Bu, Pak Narto ke mana, sih? Kok nggak angkut sampah?” tanyaku, hati-hati.

“Lho, memangnya Bu Daniel nggak tahu, ya? Istrinya masuk rumah sakit,” jawab Bu Agung.

“Ibunya Pipit masuk rumah sakit?! Kok saya nggak ada yang ngasih tau?”

“Bukan, bukan ibunya Pipit, tapi istrinya yang di Bojong.”

“Hah?! Apa?!”


Photo by Mark Hang Fung So on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *