“Haiii sobat, makasih hadiah bukunya tentang eksistensi manusia yang baru bisa terbaca ya.…”
Zahra mencoba mengawali percakapannya dengan sahabatnya Zahran yang pernah memberikannya sebuah buku tentang eksitensi manusia. Buku yang pastinya diminta Zahran untuk dibaca oleh Zahra meskipun dia tahu bahwa sahabatnya itu agak malas membaca buku.
“Nih… baca, ye. Jangan stalking medsos aja loe. Banyakin baca buku!” Zahra ingat pesan Zahran ketika memberikan buku itu.
“Widiiih… segitunya.”
“Sob, ini buku agak banyak nyuruh mikir, ya. Hahaha.”
Dalam pesannya Zahra kemudian bercerita bahwa dia telah berhasil menuntaskan bacaannya. Bagi Zahra yang menarik dan akhirnya bisa tetap mengekalkan keyakinannya adalah bahwa eksistensi manusia sesungguhnya itu adalah tentang bagaimana kualitas hubungan dia dengan penciptanya.
“Sob… bagi gue, manusia bisa eksis ketika dia bisa mengamalkan konsep-konsep ketuhanan (keimanan) yang berfaedah untuk sekitarnya (kemanusiaan).
Orang yang beriman adalah orang-orang baik, dan melindungi atau melestarikan orang-orang baik berarti melindungi aset penting untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan bagi generasi-generasi selanjutnya sebagaimana juga tuntunan dri Alquran (QS. Al-Maidah: 32) yang menyatakan bahwa membunuh kebaikan itu sama dengan menghancurkan kemanusiaan dan jika terjadi pembiaran akhrnya dapat menjadi ancaman bagi kehidupan orang lain selanjutnya.”
“Ebuseeet, pinter juga loe, ye!” komen Zahran kepada pesan Zahra.
“Ya eyyalaah… baru nyadar loe gue pinter? Hahaha.”
“Nah terus gini bagi gue…” Zahra coba melanjutkan analisisnya. “Kebaikan yang berbuah pahala tentu kebaikan yang hanya berdasar kepada ridho/perkenan Allah saja.
Artinya Sob, tulisan buku ini bisa mengajarkan kita bahwa hanya dengan ilmu saja keimanan seseorang itu bisa menjadi benar dan dengan ilmu pula segala amalan menjadi lebih bernilai bagi kemanusiaan. Ketika semuanya berjalan seperti itu maka saat itulah manusia bisa dikatakan eksis yaaa, Sob.…” Kesimpulan Zahra.
“Luar biasaaa! Great! Mantap deh loe! Gini dong kalo mau bertahan temenan sama gue harus bisa analisis dan doyan baca, hahahah.”
“Sial loe banyak amat syaratnya,” sungut Zahra.
Dan betullaah, titik tekanan utama iman itu adalah efeknya ya, bukan sekedar percaya tentang keberadaan Tuhan, tapi lebih kepada konten atau isi keimanan alias bagaimmana bisa menjalankan hukum-hukum Tuhan. Mau Sami’na waatho’na (kami dengar kami taat) atau sami’na wa asoyna (kami dengar kami ingkar)?? #huhuhungeriii
Terus kalau kita sudah beriman jadinya ya al-amin (bisa dipercaya) sehingga orang lain bisa merasakan aman karena yang dipercaya itu amanah.
“Indah yaaa, kalo kita manusia bisa begini.”
Tapi memang perang atau pertarungan melawan nafsu dan akal itu tidak pernah ada habisnya selagi belum tutup usia, dan pemaknaan penerimaan terhadap takdir Allah itu juga bukan berarti harus pasrah tanpa usaha karena sesungguhnya doa pun juga terkategori usaha.
“Nah berikutnya ada buku apa lagi nih buat gue? tantang Zahra kepada Zahran.
“Ada, tenang aja loe. Gue timpukin loe buku banyak-banyak, hahahah.”
Percakapan pun usai.
Photo by Mark kassinos on Unsplash