Drrrrrt… Drrrrt… Drrrt… Drrrt…
“Ya, Mas?”
“Masih demam?”
“Hmm…”
“Minum obat?”
“Belum… ”
Oke, istirahat dulu. Jangan pegang kerjaan. Nanti sore mas pulang!”
Percakapan berakhir. Kuletakkan kembali smartphone pink di atas meja.
Kupejamkan mata. Pusing dan mual. Badanku merasa panas dingin sejak dini hari tadi, sakit semua.
Biasanya gejala seperti ini aku masuk angin. Tapi kali ini, entahlah.
Aku menolak minum obat turun panas. Selagi bisa ditahan, aku memilih menghindari obat.
Aku hanya minta tolong Arin adikku, untuk membalurkan kayu putih seluruh tubuh.
Triing!
[De, maaf Mas gak bisa nyampe ke rumah sore. Paling habis isya nanti ]
[Oke Mas! Aku ijin nanti sore ke dokter sama Arin ya!]
[O iya sama Arin dulu ya. Maaf Mas ada meeting mendadak]
Mas Amran suamiku, bekerja di luar kota. Seminggu sekali pulang. Biasanya sampai ke rumah Sabtu sore, tetapi kali ini terlambat.
Kondisiku tak membaik, kuputuskan sore ini aku periksa ke dokter.
Berbagai perasaan berkecamuk di hati. Dokter tadi menyatakan aku positif. Kuambil handphone-ku, ingin membagikan kabar ini segera.
[Gimana De kata Dokter?] tanya Mas Amran di chat. Waktunya kulihat sepuluh menit lalu.
“Mas, aku positif” balasku singkat. Emotikon senyum.
Perutku kembali mual, segera ku berlari menuju toilet. Tas kuletakkan di pangkuan Arin.
Lemas, semua makanan keluar. Aku muntah.
“Kak, baik-baik saja?” tanya Arin khawatir. Aku hanya mengangguk lemah.
“Saat Kakak ke toilet mas Amran menelepon. Rasyid disuruh nginep di rumah Oma!’ tambah Arin sambil membetulkan maskernya.
“Oh yaudah. Nanti Arin anterin ya. Kakak juga gak bisa jagain Rasyid kalo sedang begini” ucapku menyetujui.
Tanpa Arin dan Rasyid, rumah sangat sepi. Untung saja rasa mual dan pusing sudah reda sejak aku minum obat dari dokter.
“Drrrt… Drrrt!’
Kuangkat telepon, dari mama.
“Adin, gimana kondisimu Nak?” tanya mama khawatir.
“Alhamdulillah baik, Mah. Sudah reda demam dan mualnya, tadi minum obat dari dokter” jawabku perlahan.
“Jaga kesehatan ya sayang. Paksakan makan yang banyak. Nanti Mama kirim makanan setiap hari.”
“Rasyid senang kok nginep di sini. Kamu sehat aja dulu,” ujar Mama menambahkan.
Aku hanya mengangguk. Mama menutup telepon.
Di luar hujan turun. Hanya gerimis.
Baru saja aku selesai mengerjakan sholat Isya. Suara mobil terdengar memasuki pekarangan.
“Assalamu’alaikum…!”
Tak lama kemudian, Mas Amran masuk sambil membawa tas besar. Masker dobel rapat menutup mulut dan hidungnya, menyisakan kacamata yang bertengger di atasnya.
Mas Amran langsung menuju kamar mandi di dapur. Padahal biasanya dia mandi di kamar kami.
Keluar kamar mandi, pria itu sudah rapi memakai baju rumah. Masker masih menutupi sebagian wajahnya.
“Gimana kondisimu sekarang?” tanyanya mengamatiku dari pintu kamar. Dia tidak masuk.
“Habis mandi kok maskeran dobel-dobel gitu, Mas?” tanyaku heran, tak mengindahkan pertanyaannya barusan.
“Banyak virus,” jawabnya bersungguh-sungguh. Lalu dia berlalu menuju dapur lagi.
Aku termangu dalam kamar sendirian. Ke mana lagi dia? tanyaku dalam hati
“De, ini aku siapin baskom berisi air hangat yang dicampur eucalyptus. Kamu hirup pelan-pelan uap panasnya ya, jangan nunggu dingin” perintahnya sambil meletakkan baskom di atas meja
Agak heran, aku mengamati wajah lelaki itu. Suami hebat, meski capek tapi masih mau merawatku yang sedang sakit.
“Tadi aku juga sudah oles-oles kayu putih di bawah hidung, Mas! Lumayan, jadi mengurangi mual” ucapku sambil mengangkat badan.
“E… ttapiii… Kok, Mas gak ngucapin selamat?” tanyaku merasa heran.
“Iya, Alhamdulillah yang positif semoga hanya kamu, De! Kamu kan tidak punya penyakit bawaan. Jadi tenang gak usah panik. Kamu harus kuat dan sabar, jangan dibuat stress,” ujar suamiku bersungguh-sungguh.
Dahiku mengernyit. Sikap dan pembicaraan mas Amran terasa semakin aneh.
Siapa yang panik? Aku bahkan bahagia, batinku tak mengerti.
“Malam ini Mas tidur di kamar Rasyid. ya! Kalau ada apa-apa telpon Mas!” ujarnya memandangku gamang.
“Loh, kok tidur di sana Mas? Aku kan lagi sakit?” tanyaku sedih. Tega sekali mas Amran.
“Iya maaf ya De, sabar dulu aja! Karena Ade lagi sakit, Mas jauh dulu,” ucapnya perlahan. Nampak kesedihan terlihat dari raut wajahnya.
Teganya suamiku, saat kondisi sakit dan ingin manja-manja begini, malah dari tadi menghindarku terus. Ada apa denganmu Mas? batinku nelangsa.
“Mas…. Mmm… apa gak suka aku positif?” terbata-bata kusampaikan unek-unekku.
“Ya Allah De, ini takdir. Jangan mengeluh! Ujian ini pasti akan segera berlalu. Setelah pasti negatif, kita akan berkumpul lagi,” sahut Mas Amran perlahan. Air mata Nampak menggenang di pelupuk matanya.
Fix! Lelaki istimewa ini salah paham, batinku gemas.
Aku segera mengambil hasil test dari dokter. Aku menyerahkan test pack sambil memeluknya dengan erat.
Rintik hujan di luar semakin deras.
Photo by Claudio Schwarz on Unsplash