Enggan atau Malas Saja

Oleh: Lisvy Nael

Dasar Anging Mamiri, sebentar kau singgah pikiran gelisahku tak mau pergi. Aku tidak tau jika yang kau ucapkan begitu menganggu. Terutama sanubariku. Namun, betapa lemahnya hati ini, mengayuh kapalku pun tak sanggup untuk menepi.

Sepertinya aku malam ini harus benar-benar menepi, dari pikiran-pikiran busuk. Pikiran-pikiran yang perlahan menggerogoti kemanusianku. Kukira, aku menyebut diri lebih jahat dari pada hantu-hantu baru itu. Karena aku enggan, atau mungkin malas saja untuk pura-pura khawatir dan peduli.

Ya, malam ini, aku tidak akan berpikir. Aku tak mau juga menduga-duga. Kepayangan akibat tangaku yang tak sampai menjangkau ketakutan lebih menyeramkan dari kilatan petir di horizon Utara sana. Aku bahkan tak sadar sejak kapan langit yang memang hitam telah menyimpan tali pecut Zeus. Siap membuat ribut dengan dadaku yang lebih bergemuruh dari awan-awan abu-abu pekat.

Ah, aku sedang enggan atau malas saja untuk berdialog. Jika seekor nyamuk bahkan bisa sampai ke sini, aku takkan mau menghabiskan energiku untuk menyapanya. Tidak juga keresahan ini akan kuungkapkan pada bintang-bintang yang bahkan tak pernah tampak. Tidak juga akan kutuangkan dalam tulisan-tulisan singkat. Dalam maklumat-maklumat yang takkan pernah siapa pun baca di kemudian hari.

“Oh air… kenapa udara malam ini sungguh tak membuatku tenang?” Sapaku pada air yang sangat tenang. Saking tenangnya laut, riak setitik pun tak kudengar.

“Hm… bukan udara yang membuatmu tak tenang.” Air laut menjawabku dengan kedalaman suara yang kupastikan tak pernah kau dengar sebelumnya.

“Tapi memang, setelah Anging Mamiri lewat, udara pun seperti enggak menyentuh kulitku. Enggan juga kuhirup meski perlahan. Apakah Ia tak suka jika aku memilih enggan atau bermalas saja?” Suaraku terdengar kuyu tidak seperti biasanya yang meninggi sedikit congkak. Menyebalkan.

“Bukan… bukan begitu. Udara hanya sedang tak enak badan. Ia merasa telah bersalah atas apa yang terjadi pada dunia akhir-akhir ini. Seharusnya Ia yang membawa kehidupan, tak sedikit yang harus berpulang pada Pencipta karena kehadirannya bersama setan-setan baru itu.” Air laut masih dengan suara yang menenangkan memberi sedikit penghiburan. Tentang kabar udara yang begitu menyesakkan malam ini.

“Kenapa dia begitu mudah bersedih setelah jutaan tahun menjadi berkah?” Aku terkejut dengan fakta itu. Seperti tak mengenali udara lagi. Bagaimana pun, Ia adalah yang paling dekat denganku sepanjang hidup. Ia yang selalu ada dalam setiap perjalanan dan malam-malam penuh pertanyaan.

“Ia telah di sini sejak jutaan tahun. Kalau bukan karena cintanya pada sekalian mahluk ciptaan, takkan mau dia berlama-lama di bumi. Ada banyak hal menarik di luar jangkauan indera penghuni sini. Ada makna yang lebih bernilai jika ingin mengejarnya. Namun, apatah lagi jika cintanya lebih besar dari ego yang Ia miliki.” Kulihat pendar bulan yang sangaaaat tipis memantul dari arah wajah air. Ia pun tampak sedikit sayu selagi mengatakannya.

“Apakah kamu juga begitu? Lebih mencintai kami hingga kamu enggan pergi?” Tanyaku pelan sekali. Takut jika air tak senang dengan pertanyaanku. Kau bisa bayangkan bagaimana Ia dapt melumatku seketika kalau buat Ia marah. Meskipun, sebenarnya Ia tak pernah marah hanya karena pertanyaan. Lebih sering Ia bergejolak untuk merspon perbuatan-perbuatan memusnahkan.

“Aku bukan Tuhan. Bukan juga bangsamu. Sepatutnya kita saling menyayangi karena Tuhan telah memberi kita bekal cinta. Akan tetapi, ketamakan dan iri hati sengaja bangsamu pelihara. Karena cintanya telah dibiaskan harta benda. Melihat hal-hal yang sementara menjadi yang paling berharga.

“Namun… aku masih bertahan untuk hal-hal kecil seperti rasa syukur yang kalian panjatkan kepada Tuhan. Terutama saat binar kekaguman terpancar dari matamu. Itu menyenangkan dan menenangkanku. Aku tak ingin lebih lagi. Kalian adalah berkatku.” Air pun kembali ke kedalaman. Meninggalkanku lagi dengan ragam pertanyaan baru.

Tak terasa, malam pun semakin larut. Ah… aku lupa, tadinya aku takkan melakukan apa-apa. Bahkan menyapa nyamuk yang berhasil sampai ke sini. Tetapi air, Ia tak boleh aku abaikan. Mendengarkan keteduhan darinya adalah berkat.


Photo by Keenan Constance on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *