Dari kejauhan, Fajar menatap sesosok gadis yang asyik berbaris sambil melantunkan salawat bersama teman-temannya. Fajar yakin matanya tidak berdusta. Ia masih mengenali gadis itu lekat, meski kini sosok itu terbalut hijab panjang. Senyumnya tak urung merekah. Debaran jantungnya serupa enam tahun lalu.
“Pst, jangan suka ngeliatin akhwat! Catet aja lokasinya, terus kasih biodata antum ke Bang Ahmad. Selesai masalah,” tegur Andri, cowok yang sedari tadi ada di sebelah Fajar.
“Lokasi?” tanya Fajar, bingung.
“Dari mana dia berasal. Biar nanti istrinya Bang Ahmad yang ngehubungin murobbiyah-nya.”
“Bisa ketemu?”
“Kalau antum siap nikah, nggak ada salahnya dicoba.”
Fajar menatap Hanifa lagi. Ia tidak yakin Bang Ahmad, murobbi-nya, betul-betul bisa mempertemukannya dengan Hanifa. Setahunya, Bang Ahmad hanya akan memberikan biodata akhwat yang dekat saja. Namun, tidak ada salahnya ia mencoba. Sebab, ia sendiri kesulitan menemukan Hanifa. Baru kali ini, setelah hampir ratusan purnama, ia bisa melihat Hanifa lagi.
“Antum betul udah siap?” tanya Ahmad. Matanya serius menekuri biodata Fajar yang baru ia terima.
“Serius, Bang.”
“Insyaallah, ana carikan yang sepadan dengan antum.”
“Syukran sebelumnya, Bang.” Fajar menyeruput teh manis yang terhidang di hadapannya.
“Ini pertanyaan iseng-iseng aja. Antum ada kriteria tertentu?”
Sekelebat, bayangan Hanifa muncul di otak Fajar. Namun, ia segera menggeleng. Susah mendeskripsikan Hanifa, meski ia adalah sosok impian Fajar sepanjang masa. Mustahil ia menyebutkan secara spesifik. Ia tidak benar-benar tahu Hanifa seperti apa saat ini.
“Nggak ada, Bang.”
Untuk beberapa saat, Fajar masih di rumah guru mengajinya itu, menikmati obrolan dan masukan-masukan singkat dari Ahmad. Ia hanya sendiri, teman-teman di kelompok kajiannya tidak ada yang ia ajak. Urusan seperti ini sangat rahasia. Bahkan Andri pun tidak tahu ia menemui Ahmad.
“Insyaallah ana bicarakan dengan istri ana. Secepatnya ana kabari antum.”
Fajar mengangguk. Dalam hatinya terucap doa agar Ahmad benar-benar bisa menemukan Hanifa untuknya.
Berkali-kali Fajar menekuri bundel biodata milik tiga akhwat yang diberikan Ahmad tadi sore. Ia frustasi. Tidak ada satu pun dari mereka yang mencantumkan Choirunnisa Hanifa sebagai nama. Fotonya juga berbeda dari Hanifa yang Fajar lihat beberapa waktu lalu. Ketiganya memang cantik. Istri Ahmad sungguh tidak main-main dalam mencarikan pasangan untuknya. Bahkan ada satu yang sangat cantik. Namun, tetap saja itu bukan Hanifa.
Fajar beranjak ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Malam memang sudah lewat dua pertiga, waktunya ia menunaikan salat malam. Ia terbiasa melakukannya sejak ikut kajian bersama Ahmad, tiga tahun lalu. Namun, beberapa malam ini doanya dikhususkan pada Hanifa.
Betapa ia ingin Hanifa berbahagia. Betapa ingin ia menjadi sosok yang memberikan kebahagiaan itu pada Hanifa, yang menjadi alasan Hanifa tersenyum setiap hari. Begitupun, ia menginginkan Hanifa ada di tiap ia membuka mata di pagi hari, dan menjadi orang yang mengantarkan lelapnya dengan senyum. Ia yakin, Hanifa adalah sosok yang tepat untuk menjadi teman sejati dalam hidupnya.
Tatapan Fajar kembali singgah pada bundel biodata. Ia menarik napas dalam. Besok, ia akan mengembalikan semua biodata itu pada Ahmad. Ia yakin untuk menolak ketiganya.
“Fajar!”
Fajar menoleh. Ada Andri yang berlari-lari kecil menghampiri dengan wajah sumringah. Sosoknya yang mungil seakan nyaris tenggelam dengan buku-buku di tangannya. Fajar bisa menebak kalau cowok itu baru selesai bimbingan skripsi dan hasilnya baik.
“Gimana? Udah dapet akhwat yang antum incer?”
“Belum. Aku malah dikenalin sama akhwat kampus sini juga.”
“Boleh buat ana aja? Kayaknya mereka semua high quality.” Andri melempar senyum pada Fajar. “Jadi, wisuda nanti ana udah punya gandengan halal.”
“Emangnya mereka mau sama antum?”
“Ana emang nggak sekeren antum, tapi kalau ana oke, mereka nggak punya alasan untuk nolak.”
“Bisa begitu?” Fajar menghempaskan tubuhnya di koridor masjid kampus, penat usai menerima interogasi dari dosen pembimbing. “Nikah tanpa cinta?”
“Cinta sih, bisa muncul setelahnya. Witing tresno jalaran soko kuliner.” Andri tergelak, menertawai plesetan yang ia buat sendiri. “Gimana? Antum mau coba sama salah satu dari akhwat itu?”
Fajar mengedikkan bahu. Dulu, ia juga berpendapat sama seperti Andri, bahwa cinta bisa tumbuh setelah menikah nanti. Namun, setelah menerima beberapa biodata akhwat, Fajar tidak yakin dengan hal itu. Bahkan, ia cenderung tidak suka dengan proses yang sedang ia jalankan.
“Kami hanya berusaha memilihkan yang terbaik dan sepadan untuk antum. Kalau antum cari sendiri, khawatir hanya memilih berdasarkan nafsu. Antum bisa salah jalan.” Begitu alasan Ahmad saat Fajar mempertanyakan tentang konsep perjodohan itu.
Fajar masih tidak puas.
“Kenapa, Akhi? Bukankah mereka semua bagus-bagus?” tanya Ahmad berang.
Ini sudah ketiga kalinya Fajar mengembalikan biodata akhwat yang ia sarankan, tanpa ada satu pun yang ia pilih. Ahmad yakin biodata yang disodorkan istrinya bukan milik sembarang akhwat. Beberapa dari mereka aktif berkegiatan sosial, ada juga yang aktivis kampus, mahasiswi terbaik, bahkan ada yang sudah membuka bisnis sendiri. Semua sesuai dengan karakteristik Fajar. Pun, istrinya sangat mengenal baik akhwat itu.
“Terlalu berat. Nggak sepadan sama aku.”
“Tapi, menurut ana, mereka sepadan. Mereka cocok buat antum.”
“Itu kan menurut Abang.”
Istri Ahmad keluar membawakan teh dan penganan kecil. Hanya sesaat, kemudian masuk lagi. Ia adalah guru di kelompok kajian akhwat. Biodata itu datang darinya, milik murid-muridnya yang sudah siap menggenapkan setengah agama. Apakah ada di antara mereka yang sudah melihat biodatanya, Fajar juga tahu.
“Istri ana udah kasih biodata antum ke akhwat.”
“Banyak?”
“Satu. Dia tertarik sama antum dan berniat serius.”
“Boleh aku pelajari biodatanya?”
“Antum ketemu aja dulu sama akhwat itu. Biar kami atur waktunya.”
“Aku nggak mau gegabah, Bang. Aku harus tahu kualifikasinya.”
“Antum bukan nggak ingin gegabah, tapi antum terlalu pemilih. Sebetulnya, antum serius atau tidak?”
Fajar terdiam beberapa saat. Ia serius. Sangat serius untuk membangun rumah tangga. Bahkan, ia sudah banyak bertanya pada teman-temannya yang lebih dulu menikah. Namun, keseriusan itu hanya untuk satu orang. Ia siap menjadi imam sesegera mungkin, tapi hanya untuk Hanifa.
“Ya sudah!” Ahmad mengeluarkan beberapa lembar kertas dari map di hadapannya. “Ini. Antum silakan pelajari dulu. Beritahu ana secepatnya.”
Fajar menerima kertas yang disodorkan Ahmad. Ia melirik foto dan nama yan tertera. Bukan Hanifa. Fajar sudah membuat keputusan untuk menolak. Namun, nanti saja. Ahmad bisa tambah marah kalau Fajar memutuskan secepat itu. Butuh waktu beberapa hari lagi agar amarah Ahmad mereda.
Di sepertiga malam terakhir, Fajar menyebut Hanifa kembali dalam dianya. Fajar mengharapkan apa saja yang terbaik untuk Hanifa. Dia sudah pasrah jika memang tidak bisa menemukan Hanifa lagi. Namun, Fajar bertekad akan melanjutkan usahanya.
Malam ini, kisahnya dengan Hanifa berputar lagi seperti tayangan film.
Lima tahun lalu, saat mereka masih mengenakan putih abu-abu. Hari itu adalah hari pertama di tahun ketiga mereka di SMA. Tahun ketiga juga mereka berada di kelas yang sama.
“Kamu nggak bosen sekelas terus sama aku?” goda Hanifa, seraya tersenyum memamerkan kedua lesung pipinya.
“Seumur hidup sama kamu juga aku nggak bosen.” Fajar mengacak lembut surai panjang Hanifa, sebelum menggandeng gadis itu ke lapangan untuk upacara.
Sejak jadian di kelas sepuluh, mereka seakan tidak terpisahkan. Guru-guru seakan mendukung hubungan mereka, hingga mereka selalu ditempatkan di kelas yang sama. Mereka sama-sama aktif sebagai pengurus OSIS. Banyak yang iri dengan hubungan mereka dulu.
Menjelang UN, muncul letupan-letupan. Awalnya kecil, lama-lama semakin besar. Semua berawal dari seorang mentor di tempat bimbingan belajar mereka yang memberi perhatian lebih pada Hanifa. Fajar diliputi cemburu. Ia benar-benar tidak suka, meskipun Hanifa juga tidak merespon mentor itu. Berkali-kali ia menghujani Hanifa dengan emosinya, hingga mereka bersepakat untuk berpisah, di hari terakhir pelaksanaan UN.
Sejak saat itu, Fajar tidak bisa menghubungi Hanifa lagi. Bahkan, saat Fajar menyambangi rumah Hanifa, ia hanya bertemu dengan orang yang pernah ia sebut sebagai calon mertua. Hanifa kos di dekat kampusnya. Mereka memang memberitahu kampus Hanifa. Namun, kesibukan membuat Fajar tidak sempat menyambangi. Hingga di semester kedua ia bergabung dengan kelompok kajian Ahmad. Hanifa terlupa.
Fajar meraih ponselnya di atas tempat tidur. Iseng, menelusuri phonebook dan menghapus nama-nama yang sudah tidak pernah lagi berkontak dengannya. Hingga jarinya singgah di satu nama: Sheila. Cewek itu teman dekat Hanifa dulu. Bahkan, dulu ia rajin menemui Sheila untuk mencari tahu tentang Hanifa. Sejak ikut kajian, ia menjaga interaksinya dengan Sheila, kemudian lambat laun tidak mencari sosok itu lagi.
Senyum Fajar merekah. Udara malam yang ia hirup terasa makin segar, membawa kenyamanan baginya. Ia menarik lagi selimutnya, lalu memejamkan mata. Besok, ia akan menghubungi Sheila. Tidak mengapa ia potong kompas, tidak mengapa Ahmad tambah berang. Ia hanya ingin impiannya mewujud nyata.
“Fajar!”
Fajar menoleh. Kali ini bukan Andri. Sosok yang tidak berkurang keimutannya sejak SMA berlari menghampirinya. Senyum Fajar merekah. Baru semalam ia menemukan nama cewek itu di buku telepon ponselnya, pagi ini dia sudah muncul sebelum Fajar menghubungi.
“Nyari lo susah banget! Untung gue inget pernah ketemu lo di masjid,” ucap Sheila, dengan napas terengah. “Nomer lo ganti?”
“Udah lama, Sheil.”
“Tapi, lo nggak kasih tau gue. Makanya gue susah banget hubungin lo. Gue bawa informasi, nih. Masih mau denger?”
“Masih, lah. Aku liat Hanif waktu aksi di Monas.”
“Liat doang?”
“Iya. Agak jauh. Kamu bawa info apa?”
“Hanif mau nikah sama ikhwan kampusnya.” Sheila mengaduk tasnya, mengeluarkan setumpuk undangan, kemudian menarik satu. “Ini punya lo.”
Gugup, Fajar menerima undangan warna biru dan pink dari Sheila. Tanpa membaca lagi, ia memasukkan undangan itu ke tasnya. “M-makasih.”
Sheila mendudukkan tubuhnya di ubin selasar yang lebih tinggi dari jalan. Matanya masih menatap Fajar yang pias. “Hanif sempet nyariin lo. Pas semester tiga kalo nggak salah. Gue coba hubungin lo, tapi nggak bisa-bisa. Gue mau nyari, ya ke mana juga. Gue belum tau lo sering ke sini.”
“Kenapa?”
“Duh, ya ampun, kalo gue cerita, Hanif bakal marah, sih. Tapi, nggak apa deh, cerita aja.” Sheila mengusak rambutnya. “Hanif pengen balikan sama lo. Waktu dia nerima khitbah aja dia masih kepikir lo.”
“Kenapa tetap diterima?”
“Heh, gue yang sekampus sama lo aja udah berasa hopeless banget nyari lo. Apalagi dia.” Sheila berdiri dari selasar. “Dah, gue mau tugas lagi. Banyak bener yang harus gue samperin. Jangan lupa dateng, ya. Harus dateng!”
Fajar cuma bisa mengangguk pelan.
“Oh ya, mana nomer baru lo?”
[Jangan lupa dateng besok. Pokoknya lo harus dateng.]
Pesan singkat itu muncul di aplikasi bincang-bincang hijau. Datangnya dari Sheila, mengingatkan Fajar akan undangan pernikahan esok hari.
Fajar tidak ingin membalas. Ia kacau balau sejak Sheila menemuinya di masjid kampus dan memberikan secarik undangan dari Hanifa. Harapannya kandas. Ia butuh waktu menyendiri untuk meredakan hatinya yang porak poranda. Di sepertiga malam, ia sering menangis, menyadari kealpaannya yang menaruh cinta pada yang bukan haknya.
Ia tidak tahu bagaimana besok bertemu Hanifa sebagai tamu. Ia tidak yakin hatinya kuat. Namun, ia harus datang. Setidaknya, untuk merekam baik-baik Hanifa di ingatannya. Setelah itu, ia tidak akan mencari dan mengharapkan Hanifa lagi.
Fajar merogoh tasnya, mencari undangan yang belum sempat ia teliti sejak Sheila memberikannya. Ia belum tahu di mana lokasi pernikahan. Jika ia cukup kuat, ia akan datang saat akad. Jika tidak, cukup saat resepsi. Secarik undangan kini ada di hadapannya. Nama itu tertulis jelas di sana: Sheila Andriana & Rangga Agung Sadewo. Lekas ia meraih ponselnya.
“Maaf Sheil, jadi yang nikah siapa?”
“Hahaha, pasti lo baru buka undangan. Coba lo buka dari kemaren-kemaren, nggak galau berkepanjangan, kan.”
“Ak—”
“Gue tutup teleponnya, ntar gue kirim nomer Hanif. Ajakin bareng aja besok.”
“Sheil—”
“Ya udah, ucapan terima kasihnya besok aja. Isi angpao lo yang banyak, ya.”
Fajar tersenyum seraya memutus percakapan dengan Sheila. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan singkat masuk, berisi kontak dan sebaris pesan.
“Iya, aku nggak akan sia-siain Hanif lagi. Janji, Sheil!”
Photo by Jeremy Wong Weddings on Unsplash