Oleh: Sri Rita Astuti
Sejuknya angin pagi menampar wajahku lembut.
Seperti biasanya begitu menjejakkan kaki di parkiran sekolah, beberapa sosok- sosok mungil berlarian menghampiriku, ucapan salam keluar berloncatan dari bibir bibir mungil menyambut hadirku diikuti aksi rebutan cium tangan tanda hormat padaku. Ah … selalu ada kebahagiaan yang memenuhi dada setiap episode ini terulang di awal hari, seperti biasanya sebelum menuju kantor aku selalu menyempatkan melihat kelas yang menjadi tanggung jawabku, kelas 2. Sekedar memeriksa apakah petugas piket kelas sudah menjalankan tugasnya, beberapa sapaan salam kembali menyambutku begitu kakiku sampai di pintu kelas.
Biasanya sebelum wabah Covid 19 melanda kegiatan ini akan kulihat setiap hari dari senin sampai sabtu. Tapi semenjak Covid merebak dan sekarang mulai meluas bahkan hingga ke desa tempatku mengajar. Demi mencegah penyebaran yang lebih luas dan mengkhawatirkan adanya cluster baru maka pemerintah daerah Kubu Raya tempatku mengajar mengeluarkan peraturan belajar online sama seperti daerah daerah lainnya.
Di sekolah tempatku mengajar murid akan datang seminggu sekali atau seminggu dua kali untuk menerima tugas dan mengantar tugas yang sudah dikerjakan mereka di rumah. Setahun sudah keadaan ini berjalan. Entah sampai kapan baru berakhir dan proses belajar mengajar berjalan normal kembali.
Beberapa tubuh mungil masih terlihat memegang sapu, yang menandakan petugas piket masih menjalankan tugasnya. Beberapa saat kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas, pandanganku berhenti pada sesosok gadis kecil berjilbab putih bermasker orange yang sedang duduk di bangku kedua barisan pertama.
Aahh … Sudah beberapa kali pertemuan aku tak melihatnya hadir di kelas, gadis kecil yang biasanya ceria dan selalu bertanya tentang apa saja kepadaku. Aku mendapatkan kabar tentang keluarganya yang tertular virus penyebab Covid 19 dan Sang Ibu tak dapat bertahan. Meninggal dunia beberapa minggu yang lalu. Lalu keluarganya satu keluarga harus menjalani isolasi mandiri.Tapi hari ini rupanya dia sudah bisa hadir ke sekolah, kulihat ia duduk termenung seperti melamun pandangannya jauh keluar jendela kelas.
Perlahan kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia bahkan tidak menoleh saat suara ketukan sepatuku mendekat ke arahnya. Kusentuh lembut bahu mungilnya, dia tersentak terkejut menoleh ke arahku
“Oh, Ibu … maaf saya tidak mendengar suara bel,” ujarnya merasa bersalah
“Kamu ga salah kok, bel memang belum berbunyi, ibu hanya kangen beberapa hari tidak melihatmu Nak,” jawabku menenangkannya.
Ketika kutanya kenapa dia tidak bermain bersama teman-temannya di luar kelas, dia hanya menjawab dengan gelengan pelan. Lalu kutanya apakah dia sakit, dia kembali menggeleng, tetapi kulihat ada kilauan air mata di matanya, kesedihan jelas tergambar di sana.
Dengan gemetar pelan bibir mungilnya yang merah berujar lirih, “Saya ingin belajar sungguh sungguh bu, saya mau mama bangga pada saya.”
Lalu tanpa kuminta dia bercerita tentang ibundanya yang berpulang 3 minggu yang lalu karena wabah Covid.
” Saya ingin belajar tiap hari di sekolah seperti dulu Bu. Agar saya cepat pintar,” ujarnya penuh harap
“Mama bilang saya harus belajar yang rajin Bu.”
Air mata pun kembali mengalir deras di pipi ranumnya. Rasa sedih, haru menyesak memenuhi dadaku, kuraih tubuh mungilnya dalam dekapanku, kata kata penghiburan kuucapkan untuk membuatnya tenang dan merasa aku peduli padanya. Ya Allah … Bisa kurasakan kesedihan yang dirasakan murid kecilku ini, bisa kupahami duka yang menggelayut di hatinya, karena aku juga pernah mengalaminya 12 tahun yang lalu, saat ibu dipanggil menghadap-Nya, dunia terasa menyempit, duka berkepanjangan kurasakan, bertahun-tahun rasa kehilangan itu masih menyiksa.
Lalu bagaimana dengan gadis kecil dalam pelukanku melewati duka ini dalam usia yang begitu muda.
Aahh … murid kecilku semoga engkau dilimpahi kasih sayang dan bahagia di sepanjang umurmu, agar luka itu tak membuatmu terpuruk dalam duka yang panjang.
Doa ibu selalu menyertaimu nak
Sungai Raya, 13072021
Photo by Nuno Alberto on Unsplash