Oleh : Siti Atikah (Atik)
Beberapa pekan lalu, saat sedang transit di dirumah tante di Depok sembari bolak-balik ayah saya yang dirawat di rumah sakit, di sana ada adik sepupu yang sedang berjuang merebut bangku kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Yaah, harus negeri, karena selain kredibilitas yang telah dikantongi kampus-kampus tersebut, di sisi lain yang menjadi pertimbangan adalah biaya pendidikan. Yup, sudah lumrah bukan bahwa biaya pendidikan di sekolah negeri dan PTN lebih terjangkau, setidaknya begitu yang kualami semasa sekolah dan kuliah dulu. Orang tua saya dulu tak mampu membiayai jika saya tak bisa lolos di PTN karena jika harus kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS) banyak biaya yang harus dikeluarkan di samping uang kuliah persemesternya. Maka dari itu, saya gigih berusaha menempuh ujian masuk ke beberapa PTN pilihan yang akhirnya Allah takdirkan saya hanya bisa lulus di salah satu dari tiga pilihan saat itu, di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (sejak tahun 2003 namanya resmi berubah jadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Namun, kini zaman sudah berubah. Bahkan PTN kini biayanya cukup membuatku terhenyak. Berdasarkan informasi yang tertera di situs – situs resmi, setidaknya yang sudah kubaca, rata-rata PTN menerapkan sistem biaya pendidikan berdasarkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang digolongkan berdasarkan kemampuan dan penghasilan orangtua atau penanggung jawab biaya pendidikan si mahasiswa. Tentunya penentuan UKT ini disertakan dengan beberapa dokumen yang memperkuat bukti penghasilan orangtua si mahasiswa. Dari sekian penggolongan UKT yang terjangkau adalah UKT I dan II yang berkisar antara 500K – 1000K per semester. Selebihnya mulai dari UKT III sampai dengan V bahkan VII biaya pendidikan berkisar di nominal 2500K – 7500K per semester atau bahkan lebih, sesuai dengan jurusan yang diambil. Belum lagi ada beberapa biaya yang diperlukan untuk tahun pertama masuk kuliah. Maka, dengan data tersebut, biaya pendidikan di PTN maupun PTS saat ini bisa dikatakan setara.
Yang menyesakkan, terkadang penentuan UKT tersebut kurang tepat sasaran. Tak jarang calon mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan ekonomi di bawah rata-rata justru ditetapkan ke dalam UKT III ke atas. Entah bagaimana hal ini bisa terjadi karena seharusnya pada saat proses pendaftaran pasca pengumuman kelulusan, semua dokumen yang terkait dengan kondisi calon mahasiswa sudah diminta atau disertakan sebagai bahan seleksi penentuan UKT ini. Hal ini terjadi pada sepupu saya 4 tahun yang lalu dan yang baru berapa pekan lalu diterima di salah satu PTN. (Kartu Jakarta Pintar) KJP yang dimiliki tidak bisa langsung otomatis menjadi Karta Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) karena harus menunggu nilai bagus terlebih dahulu di 2 semester awal dan baru mengajukan transisisi KJP ke KJMU di semester ke-3. Nah, berarti harus pakai dana pribadi dulu, dong untuk tahun pertama. Kalau tidak ada dananya, lalu batal kuliah dong, padahal sudah lolos PTN? Miris!!!!!!
Memang sih, hal ini bisa diurus dengan skema pengajuan keringanan UKT yang disediakan oleh masing-masing PTN setelah penentuan UKT muncul. Namun, menurut saya seharusnya tak perlu lah pengajuan seperti ini jika sistem seleksi UKT sudah jelas dan lengkap dari awal. Terbayang betapa bingungnya calon mahasiswa ataupun orangtua yang baru saja mengenal dunia perguruan tinggi, apalagi kalau diterimanya di luar provinsi di luar domisili si calon mahasiswa. Sungguh tidak efektif.
Melihat kenyataan ini, maka saya menjadi berpikir, pada saatnya nanti tiba giliran anak-anak saya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, akan berapa ya besaran biaya yang dibutuhkan? Mmm… belum terbayang. Sekarang saja, si bungsu saya yang baru masuk TK B dan si sulung saya yang baru naik kelas 4 SD, di salah satu sekolah swasta di daerah tempat kami tinggal yang menurut saya cukup terjangkau kocek saya yang sebagai single mom, telah menghabiskan dana sekitar 3 juta rupiah karena situasi sedang pandemi. Ini belum termasuk biaya sekolah per bulan. Jika situasi normal tanpa adanya pandemi, pastinya biaya yang harus diemban akan lebih besar karena ada biaya kegiatan karya wisata dan kegiatan ekstra maupun intra kurikuler di sekolahnya. Pastinya, tahun demi tahun biaya tersebut, di sekolah manapun akan terus naik. Namun, kalau swasta menurut saya sih, wajar ya, karena memang pembiayaannya mandiri dari yayasan yang bersangkutan.
Namun, ternyata di sekolah negeri pun masih ada loh, biaya yang harus ditanggung orangtua dan jumlahnya tidak sedikit. Contohnya adalah ketika tante saya yang merupakan single mom sejak 9 tahun lalu suaminya meninggal, pada tahun ajaran 2019 lalu ia harus merogoh koceknya sekitar 2 juta rupiah untuk biaya pendaftaran dan operasional putrinya yang baru masuk salah satu SMPN di daerah Ciledug, Tangerang. Wow! Saya kira sekolah negeri tidak akan mencapai jumlah jutaan untuk proses pendaftaran murid baru. Apa memang baru di Jakarta aja ya, sekolah negeri yang sudah gratis? Entahlah. Yang jelas pendidikan formal adalah hak seluruh warga negara. Maka, jika biaya dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi tak terjangkau bagi sebagian warganya, perlu peran pemerintah yang lebih intens untuk menanggulangi hal ini.
Oke, sekarang kita beranjak pada si individu yang telah berhasil mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Menurut saya setiap individu harus memiliki skill alias keahlian. Yup, karena tak cukup lulusan dari PTN bergengsi sekalipun jika skill untuk terjun ke dunia nyata alias kerja ataupun berwirausaha tak dimiliki. Akan sulit baginya dan berpotensi menambah jumlah pengangguran. Kalaupun sudah bekerja, biasanya ia akan sulit beradaptasi dengan load pekerjaan dan terjebak dalam zona nyaman, tak mau berubah, atau bahkan cepat bosan dan bolak-balik resign dari pekerjaan yang satu ke pekerjaan yang lain.
Lalu bagaimana untuk bisa memiliki skill tersebut? Kalau menurut saya, berdasarkan pengalaman saya pribadi, harus ada motivasi dari dalam diri yang kuat untuk bisa mengasah potensi diri. Jadi, sekolah atau kuliah yaaa jangan belajar tok, tetapi harus ikut kegiatan organisasi kesiswaan dan kemahasiswaan guna bisa membangun relasi, kepercayaan diri, dan mengenal bagaimana cara mengorganisasi suatu kegiatan/tugas tertentu. Bisa yang sesuai dengan jurusan yang diambil atau melebarkan sayap sesuai minat yang dimiliki. Hal ini penting karena sedikit-banyak akan menentukan profesi apa yang akhirnya akan kita pilih selepas lulus dari bangku pendidikan nanti.
Bagi saya yang memang dari awal mengambil fakultas pendidikan karena ingin menjadi guru, maka kegiatan kemahasiswaan yang saya ikuti berhubungan dengan itu, yaitu Unit Kegiatan Mahasisa (UKM) Bahasa. Jujur, sejak mengikuti kegiatan ini, saya otodidak belajar mengadministrasi dokumen yang kini berguna bagi profesi saya sebagai guru. Saya belajar dari rekan-rekan di kampus dulu tentang mengoperasikan PC padahal saya tidak pernah punya satupun PC saat itu. Saya juga mengasah kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris lisan maupun tulisan yang kini berperan penting bagi saya sebagai guru di salah satu sekolah yang mengintegrasikan kurikulum nasional dan internasional. Hingga akhirnya, dengan bermodalkan skill yang dimiliki, Alhamdulillah sejak 2 tahun sebelum lulus kuliah, saya sudah mulai terjun menjadi guru. Mulai dari guru honorer, guru les privat dengan bayaran kecil, guru lembaga kursus, guru di sekolah formal dengan standar penghasilan di bawah UMR hingga akhirnya dapat menjadi bagian dari staff pengajar di salah satu sekolah IB (International Baccalaureate) selama 12 tahun terakhir dan masih terus berlangsung.
Maka, jika mendapati siapapun yang masih gamang, bingung mau bekerja apa atau di mana, padahal lulusan PTN sekalipun, saya merasa miris sekaligus sedih karena saya tak bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Memang, rezeki itu Allah yang atur, tapi dalam Qur’an pun Allah menegaskan bahwa Ia tak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak berusaha mengubah nasibnya. Lagi-lagi kembali kepada individu masing-masing, bagaimana setiap kita memaksimalkan potensi diri kita untuk bisa berkarya dan tak lupa diimbangi dengan bermunajat terus kepada Sang Maha Pencipta yang mengatur segala roda kehidupan di dunia ini.
Duh, agak melebar ya curhatan saya, dari mulai “keterkejutan” saya yang agak terlambat tentang biaya kuliah di PTN yang sudah setara dengan PTS hingga pentingnya memiliki skill untuk bisa berkarya di dunia nyata. Intinya sih, sebagai orangtua, saya rasa kita harus mulai menyiapkan dana pendidikan bagi anak-anak kita agar bisa menyelesaikan studi hingga jenjang perguruan tinggi. Serta kita pun harus ikut membangun motivasi diri dalam jiwa anak-anak kita agar mampu memaksimalkan potensi positif yang mereka sudah miliki atau belum dimiliki demi dapat berjuang secara mandiri untuk hidup mereka kelak. Semangat!!!!!
13 Juli 2021
Hari ke-8, Lock Down Writing Challenge, Books4care, Kinaraya.com
#atikberbagikisah
IG : atikcantik07