Oleh: Wulandari
Baru saja bisa bernapas lega melihat anak-anak kembali belajar secara normal meski harus dibatasi jumlah murid dan jam belajarnya itu sudah meringankan beban pikiran orang tua si anak.
Namun, hanya beberapa bulan saja anak-anak kembali melakukan kegiatan belajar bertatap muka dengan guru sekarang sekolah kembali diliburkan.
Aku hanya bisa pasrah melihat kelakuan anak yang setiap hari hanya sibuk bermain game di ponsel, malas mandi dan malas salat. Harus tarik urat dulu jika ingin meminta bantuan padahal kondisiku sendiri tak bisa beraktivitas normal, ya aku mengalami cacat fisik karena terjatuh dari kamar mandi pada tahun 2013 lalu.
Satu tahun dipenuhi perjuangan aku tidak bisa melakukan aktivitas apa pun, jangankan untuk keperluan di kamar mandi pun untuk makan harus disuapi.
Meski kondisi tubuh mulai berangsur-angsur membaik tetapi sampai sekarang aku belum bisa berjalan seperti sedia kala, aku hanya bisa mengesot jika ingin berjalan. Setidaknya aku sudah bisa mengerjakan kembali tugas sebagai ibu rumah tangga seperti mencuci baju, peralatan masak dan makan minum serta urusan ke kamar mandi.
Meski begitu aku tetap butuh bantuan jika air Tower habis karena posisi kabel colokan listrik tinggi, untuk menyalakan lampu saja aku masih harus menggunakan kayu kecil agar bisa menekan tombol on off-nya. Sedangkan anak jika sudah bermain game dia akan asyik dengan dunianya sendiri. Meski mendengar panggilan ibunya pasti dia abaikan jadi setiap hari selalu berteriak marah-marah dulu baru dia mendengar dan menolong ibunya.
Belum lagi kondisi lingkungan yang dikepung oleh zona merah membuat kami sulit beraktivitas, aku sih merasa tidak dirugikan ketika diberlakukan atau tidaknya lockdown aku tetap berada di dalam rumah.
Hanya saja saat mendengar keluhan para tetangga yang mengatakan harga sembako kembali naik, adanya larangan berjualan di malam hari dan dibatasi tempat-tempat yang bisa menimbulkan kerumunan membuatku juga ikut merasa sedih.
Saat bertanya pada suami yang bagaimana kondisi pasar Sentral tempat suami berdagang, dia bilang kalau keadaan di sana masih aman. Para pedagang hanya diminta mematuhi protokol kesehatan untuk selalu memakai masker saat berjualan dan menghindari kerumunan.
Banyak tetangga menyarankan untuk mulai memanfaatkan pekarangan rumah yang kosong dengan menanam sayur mayur yang mudah ditanam seperti bayam, daun katuk, kangkung, tomat dan cabai. Namun suamiku bukanlah seorang petani, dia tidak mengerti cara bercocok tanam. Ia hanya mengerti cara beternak ayam dan membudidayakan ikan lele.
Lagi pula sayur mayur itu tidak bisa hidup karena akan dimakan oleh ayam-ayam yang dipelihara atau ayam tetangga yang dibiarkan bebas berkeliaran.
Terkadang aku merasa kesal melihat anak yang sejak awal mulai covid-19 menyebar di Lampung Utara dia sering bermain di luar rumah bahkan tidak pulang sampai jam lima sore, setiap kali dinasihati hanya menjadi angin lalu baginya. Baginya bermain bersama teman-temannya lebih asyik ketimbang berada di dalam rumah.
Meski tempat tinggalku terkepung zona merah, tetapi jika masuk hari libur atau perayaan lebaran masyarakat lebih memilih keluar dan berkerumun di pasar untuk membeli kebutuhan sembako dan pernak-pernik lebaran.
Ada atau tidaknya zona merah di sekitar tempat tinggal kami, rasanya tidak ada pengaruh apa-apa bagi beberapa tetangga yang bebal akan protokol kesehatan. Karena masih ada tetangga yang mengadakan hajatan dan tahlilan tanpa peduli jika acara tersebut akan menyebabkan kerumunan.
Aku hanya bisa berdoa semoga desa-desa di sekitar tempat tinggal yang berstatus zona merah kembali menjadi zona hijau, kami sekeluarga selalu diberi kesehatan dan tidak terserang Covid-19.
END
Photo by Elena Mozhvilo on Unsplash