Oleh: Cicih M Rubii
“Minggu depan kita undangan ke pak Broto, Ingetin!” teriak suamiku dari halaman.
Kanebo di tangannya diplintir maksimal. Busa sabun mengotori lengan bajunya yang tergulung asal-asalan. Aroma lemon segar menguar di udara pagi itu, kubangan air semakin lebar di kolong mobil bagian belakang.
“Emang boleh ada acara?” tanyaku heran. Juga dengan berteriak.
Aku letakkan minuman rempah di atas meja bundar samping pot besar berisi monstera. Singkong kukus bersanding di sebelahnya.
Minuman berwarna kuning ini terdiri dari jahe, kunyit, serai, cengkih. Ditambahkan madu dan jeruk nipis. Minuman favorit saat pandemi.
“Cuma beberapa saja. Ayah jadi saksi nikah,” balasnya sambil mengguyur mobil melalui selang.
Anak bungsuku berteriak keras sambil megap-megap saat air dari selang dikucurkan pada wajahnya.
Suamiku tertawa memamerkan semua deretan giginya yang putih. Saat bersama keluarga begini, kebiasaan jelek kami adalah menanggalkan masker.
“Kita kan satu keluarga sendiri, hafal sedang sakit apa enggak. Membawa virus apa enggak!” jawab suamiku enteng saat diingatkan untuk memakai masker.
Aku hanya mengangguk ragu. Memang susah, tak bisa bernafas bebas.
“Ayok berangkat!” ajak suamiku sambil buka pintu mobil. Masker warna putih sudah rapi menutupi mulut dan hidungnya.
Teriakkannya membuyarkan fokusku ber’swafoto’. Cekrek kanan, cekrek kiri.
“Cantiiik banget ih, kebaya baru bludru berwarna ungu yang dibeli seminggu lalu. Tapi bukan di pasar Minggu, hehe,” gumamku sambil bergaya-gaya.
“Bentar Ayah, sikit lagi laa…!” teriakku dari pinggir kolam ikan.
Aku masih melanjutkan meramu senyuman memesona ter-update, memetakan diri di depan kamera Hp. Memanfaatkan rimbun daun-daun palem botol yang berjejer samping kolam ikan koi sebagai background yang keren.
Sepasang kura-kura yang terdiam memperhatikan, kuabaikan. “Dilarang julid sama bu Bos!” ancamku sambil memanyunkan bibir.
Sesaat kemudian aku menarik kedua sudut bibir dua senti ke kanan dan dua senti ke kiri ke arah kamera.
“Ckrik!”
Sedikit melirik, tampak pria di belakang setir itu sudah bertampang menyeramkan.
Terburu-buru aku segera melompat ke dalam mobil, tak mau ada perintah kedua. Bakalan rame dunia persilatan nanti.
Kurapikan masker ungu muda menutupi sebagian wajahku. Lalu duduk manis di sebelahnya.
Penasaran dengan hasil jepretanku, kuambil HP dan mengamati layar satu demi satu.
“Lumayan juga, keren!” batinku puas.
“Cantik lho Yah, pakai kebaya ini!”ujarku berbangga hati.
Dia hanya melirik sedikit dan melanjutkan siulannya. Tetap fokus memegang setir.
‘Bahagia sekali dia’ pikirku terbawa suasana. Aku tersenyum ceria.
“Eits…Ayah! Pu… putar balik ssee…bentar!” ujarku tergagap. Kaget saat kusadari ada sesuatu yang salah.
“lihat! Lihaaat…!” ujarku panik. Jari lentikku yang sudah dicat ungu lurus menunjuk ke bagian kaki.
Sepasang sendal jepit seolah tersenyum manis. Di antara jari kaki yang juga berkuku ungu, tali rapia warna hijau menyerupai pita bertengger di salahsatunya.
“Akad nikah sudah mau dimulai, Ma!” ucapnya cuek. Matanya tetap lurus ke depan.
“Ja…jadiiii? Gak balik lagi, nih?” tanyaku histeris.
“Ngapain. Udah pake aja sandal itu!” jawab suamiku terdengar bagaikan petir di siang bolong.
Aku bengong tak percaya.
Bayangan ‘high heel’ ungu yang tersandar di pinggiran kolam ikan melambai-lambai di pelupuk mata.
Rasanya aku ingin baca doa mau pingsan.