Oleh: Hendra Desdyanto
“Positif” sebuah kata yang ditunggu-tunggu diawal pernikahan kami. Karena kata ini bisa membawa kebahagiaan. Tapi tidak dengan sekarang. Kata ini telah membawa kesedihan. Kata ini menjadi lebih ditakuti. Kata yang sama membawa dampak yang berbeda. Gara-gara kata ini, tidak sedikit dari kita dijauhi, diintimidasi, diusir, bahkan kata ini bisa menjadi perantara kematian.
Setiap hari, jutaan orang berjuang untuk merubah kata ini, termasuk aku. Bulan kemarin aku mengantar istri beserta anak-anak pulang ke Pekalongan. Setelah dua minggu di sana saatnya aku menjemput mereka. Malam sebelum berangkat, istri telepon kalau dia sedang sakit. Sakit dengan gejala yang mengarah ke Covid-19. Baiklah mungkin bisa ditunda dulu untuk kesana. Tapi karena anak-anak sudah minta dijemput, maka besok aku tetap berangkat untuk bertemu mereka.
Tiga hari merasakan batuk, pilek, meriang, dan mulai kehilangan indra penciuman dan indra perasa. Akhirnya, istri melakukan swab dan Qodarullah hasilnya positif. Tahu hasilnya, istriku menangis. Dia bingung gimana nanti dengan anak-anak. Alhamdulillah, Allah Maha Baik. Anak-anak baik-baik saja.
“Gak papa sayang. Kalau yang diberikan Allah kepada hamba-Nya itu yang terbaik. Kenapa kita harus sedih. Dia lebih tahu kondisinya hamba-Nya daripada hamba-Nya itu sendiri. Dan Allah tidak pernah sedetikpun menzalimi kita,” kataku menasihatinya. “Berarti saat ini, ini yang terbaik buat kita. Pasti ada hikmah terbaik di balik semua ini. Dan satu lagi, Allah bersama hamba-Nya yang sabar. Kalau Allah sudah bersama kita, lalu apa yang harus kita takutkan.”
“Iya sayang, makasih ya,” balasnya.
Kami pun melakukan isolasi mandiri. Awalnya hal ini terasa berat, tidak tega melihat anak-anak ketika rewel minta sama ibunya. Dua minggu setelah melakukan isolasi mandiri. Alhamdulillah istri tidak ada gejala lagi. Kami pun memutuskan untuk pulang ke Tuban.
Dari kejadian ini banyak sekali hikmah yang dapat kurenungkan. Semua kejadian sudah ditakar oleh Allah. Dengan takaran yang terbaik. Dari sisi manusia yang dibekali perasaan, kita pasti akan sedih bila hal ini menimpa keluarga kita dan akan merasa kasihan. Bahkan, tidak hanya kasihan saja. Kita pasti akan membantunya. Jika hal ini menimpa tetangga atau teman kita.
Tapi dari sisi yang lain, ketika melalui musibah ini orang bisa meninggal husnul khatimah harusnya kita merasa senang. Bukankah ini yang diinginkan setiap orang. Bisa berjumpa dengan Tuhannya. Kalau melalui musibah ini seseorang menjadi bertobat dan bisa lebih dekat dengan Sang Maha Menyembuhkan. Bukankah kita juga ikut senang. Jika dengan ini tenaga kesehatan diberi pahala telah menyelamatkan semua manusia bukankah kita ikut bangga. Dan tenaga kesehatan akan merasa bangga bisa menjadi perantara Tuhan. Diberi kepercayaan, karena banyak yang menitipkan nyawa di tubuhnya.
Harusnya kita merasa kasihan pada yang sehat tapi justru melakukan banyak maksiat.
Harusnya kita merasa kasihan pada yang setiap hari melihat dan mendengar kematian tapi tidak bisa menyiapkan kematian.
Tetap berpikir positif, lakukan hal positif, dan ambil yang positif dari kejadian orang yang dinyatakan positif.
Photo by Annie Spratt on Unsplash