Membahagiaku Mama adalah Pekerjaanku Saat Ini

Oleh: Delfitria

“Kalau Kakak mau menikah, Kakak bahagiakan Mama dulu, ya?” ungkap Ayah ketika menyadari anak gadisnya sudah ingin menikah. 

Ketika ungkapan itu terlontar dari pandangan seorang Ayah, aku sejenak berpikir “Apakah selama ini aku tidak membahagiakan Mama?” atau paling aku memang tidak terlihat seperti anak yang berusaha membahagiakan orang tuanya. Ketika ku coba ingat-ingat apa yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, aku sadar satu hal. Waktu yang kumiliki selama 24 jam dalam 1 minggu lebih banyak dihabiskan untuk hal-hal di luar keluarga. Rasanya wajar sekali jika Ayah merasa harus menyampaikan ini sebelum aku menikah. 

Saat ini aku sibuk memikirkan apa indikator keberhasilan telah membahagiakan Mama, ya? Apakah jika indikator keberhasilan itu tercapai, aku sudah layak untuk menikah? Entahlah, daripada overthinking berpikir soal itu, rasanya lebih bijak jika memaknai pekerjaan baruku ini yaitu membahagiakan Mama.

Mama bukan orang yang banyak kemauan. Dalam hidupnya, bisa masak tahu dan sayur bayam rasanya sudah cukup. Penampilan mama juga tidak pernah berlebihan. Ibarat kalau ada baju yang masih muat artinya tidak ada alasan untuk membeli baju lainnya. “Ah, yang itu juga masih ada!” ungkap Mama setiap kali ku Tanya perihal baju baru. Sepertinya ini akan jadi pekerjaan sulit mengingat aku yang harus riset produk sendiri tanpa bisa klarifikasi pada user alias si pengguna. Biar terlihat rumit saja pakai bahasa begini. 

Membahagiakan orang lain memang selalu rumit. Kita harus berhadapan pada ekspektasi manusia yang kerapkali mudah berubah hanya dalam jangka waktu yang pendek. Ibarat dulu kebahagiaan hanya sekadar tahu goreng, mungkin sekarang sudah berubah menjadi tahu bulat, tahu jeletot, hingga tahu krispi. 

Kata orang bijak, “Bahagia adalah tanggung jawab masing-masing.” 

Kalau bahagia itu tanggung jawab masing-masing, mengapa masih banyak pasangan yang ingin membahagiakan pasangannya? Orang tua yang membahagiakan anaknya? Teman yang ingin membahagiakan temannya?

Well, ada satu cara agar perkara bahagia dan membahagiakan ini tidak menjadi persoalan rumit. Caranya dengan membuat perkara bahagia itu bukan perihal transaksional. Mari kita buat persoalan membahagiakan menjadi keperluan pribadi. Perasaan ketika membahagiakan orang lain adalah keberhasilan diri kita. Pun ketika gagal membahagiakan orang lain itu juga sebuah keberhasilan karena kita sudah berusaha. Ya, mari kita buat bahagia menjadi sebuah pekerjaan yang perlu dievaluasi dan tingkatkan sendiri.

Kita tidak lagi menautkan diri pada hasil yang diperoleh, melainkan pada usaha yang kita lakukan. Layaknya sebuah pekerjaan, seseorang akan merasa puas terhadap pekerjaannya ketika Ia sudah melakukan banyak hal agar pekerjaannya selesai. Perihal upah, bonus, dan penghargaan adalah pemberian eksternal yang tidak bisa dikendalikan. Dalam hal ini, upah, bonus dan penghargaan bisa diibaratkan sebagai penilaian orang lain yang sedang kita bahagiakan. Ingat, orang-orang yang terlalu berorientasi pada upah, hidupnya tidak terlalu tenang, bukan? 

Mulai saat ini membahagiakan orang lain adalah pekerjaan pribadi saya yang harus maksimal dalam mengusahakannya. Saya akan merasa bahagia ketika saya telah memberikan usaha terbaik untuk membahagiakan orang lain. Saya sudah bekerja dengan baik. Perihal upah dari pekerjaan itu, biar Allah yang akan atur semuanya.


Photo by Dinesh kag on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *