Masih Membersamai Mereka

Oleh: Dian Sulis Setiawati

Hari-hari observasiku terlalui dengan terus menguatkan hati pasti aku bisa berada di sekolah luar biasa ini. Teringat saat aku bertemu dengan salah satu muridku yang tunanetra, aku tak kuasa menahan tangis. Aku benar-benar menangis tersedu. Selama aku disana baru hari itu dia masuk karena sebelumnya sakit. Anak itu ganteng sekali, kulitnya putih bersih. Di usianya yang sudah SD dia masih membawa botol susu, dia tidur di pangkuanku saat itu. Ya, dia memang terbiasa bermanja di pangkuan bapak dan ibu guru.

Dia memiliki hambatan ganda selain hambatan penglihatan juga autisme. Jika dia lelah atau tidak bisa mengungkapkan apa yang diinginkan, dia akan memukul kepalanya sendiri. Pilu rasanya melihat mereka menyakiti dirinya sendiri, jika sudah seperti itu kami akan berusaha menenangkan dan menahan tangannya.

Hari itu yang membuat aku menangis sejadi-jadinya adalah saat dia bergumam sendiri. Dia mengulang kalimat dalam bahasa jawa yang dalam bahasa Indonesia artinya dia bergumam, “Dikasih tau nggak ngerti, disuruh nggak nurut, lelah.” Kalimat itu ternyata adalah kalimat yang terucap dari orangtuanya yang sudah pasti lelah sekali mengurus anak-anak spesial ini dirumah. Aku membayangkan betapa tidak mudahnya para orangtua mereka mengasuh mereka, mereka adalah orang-orang yang kuat, yang Allah pilih untuk diberikan amanah anak-anak surga. Semoga kelak mereka bisa membawa orangtuanya ke surga Allah.

3 bulan selesai observasi aku memutuskan untuk tidak melanjutkan mengajar disana. Aku merasa tidak sanggup. Tapi entahlah hari itu pun aku tak mampu pamit. Hatiku merasa mendapat kekuatan untuk tetap bertahan membersamai mereka.

Apalagi saat itu Qodarullah salah satu guru di sekolah kami lulus tes CPNS dan mendapatkan amanah baru dari Allah di tempat lain. Hal itu membuatku menjadi berubah status dari guru pendamping menjadi guru kelas. Aku memegang kelas sendiri, salah satu murid di kelasku memiliki sensitifitas kepada hal-hal yang gaib. Sering di dalam kelas dia bilang, “Ada anak-anak kecil, banyak anak-anak kecil.” Aku yang merinding berusaha menenangkan diri sambil berkata, “Biarkan mereka bermain.” Bahkan tak jarang ketika dia melihat hal-hal yang tak bisa kami lihat, dia akan tantrum.

Pernah suatu ketika aku sedang membimbing dia mengerjakan tugas, tiba-tiba dia mencakar wajahku. Dia bilang, dia marah karena ada yang mengganggunya. Itulah tanda cinta pertama dari muridku. Luka di dahi atau pukulan yang kadang kuterima saat berusaha menenangkan mereka tantrum tak membuatku berpikir untuk berhenti membersamai mereka, yang membuatku terkadang putus asa justru ketika aku merasa gagal jika belum membuat banyak perubahan yang baik pada diri mereka. Yang terus kami bisa lakukan adalah berusaha dan melangitkan doa agar mereka dapat belajar mandiri dan dapat mengendalikan emosi mereka itu adalah hal yang utama.


Photo by Anna Earl on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *