Oleh; Denik
Ningsih. Sosok perempuan sederhana yang tak banyak bicara. Murah senyum dan ringan tangan. Dalam artian suka membantu orang lain.
Tetangga sekitar memanggilnya Mbak Ning. Ia merupakan single parents dengan satu anak usia remaja. Pekerjaan Mbak Ning sehari-hari adalah mengantar jemput anak sekolah.
Hampir semua anak tetangga diantar jemput oleh Mbak Ning. Para tetangga menggunakan jasa Mbak Ning dengan berbagai alasan. Ada yang karena iba sehingga memberinya tugas antar jemput anak.
Dengan harapan upah dari antar jemput tersebut bisa menambah pemasukan Mbak Ning. Ada juga yang mempercayakan anaknya diantar jemput Mbak Ning karena sudah tahu siapa Mba Ning.
Apapun alasannya, dari sanalah Mbak Ning membiayai hidup dirinya dan anak semata wayangnya. Untuk biaya sewa tempat tinggal, biaya anak sekolah dan biaya tak terduga lainnya.
Ketika pandemi melanda, semua sendi kehidupan terdampak. Mereka yang tergolong berkecukupan mengeluh. Bagaimana mereka yang dari golongan tak mampu? Tak hanya mengeluh, tapi juga menangis dan berdarah-darah dalam hatinya.
Bagaimana tidak? Kalau para pengusaha banyak yang gulung tikar. PHK dimana-mana. Usaha dagang dibatasi. Anak sekolah belajar secara online. Para pekerja kantoran juga bekerja dari rumah.
Pekerja lepas dan harian kebingungan mencari pemasukan. Semua serba sulit. Tapi Mba Ning terlihat biasa saja. Seolah tak ada beban sama sekali. Padahal ia baru saja kehilangan pekerjaan.
Antar jemput anak sekolah ditiadakan. Lha, wong anak-anaknya belajar dari rumah. Penghasilan Mbak Ning otomatis berkurang. Pekerja kantoran yang sesekali menggunakan jasa Mbak Ning juga libur. Secara kasat mata sumber penghasilan Mbak Ning nyaris tak ada.
Namun ia tidak seperti kebanyakan para tetangga. Yang mengeluh dan menggerutu. Menyalahkan si A, si B atau si C. Ia diam tanpa kata. Dalam diam nia membuat rencana.
Benar saja. Tak berapa lama di teras rumahnya sudah tersusun aneka jajanan. Makanan ringan dan aneka minuman untuk dijual.
“Mbak Ning sekarang jualan? Memang sudah nggak antar jemput lagi?” tanya seorang tetangga.
“Iya, Bu. Anak yang diantar pada belajar dari rumah. Jadi saya dirumahkan. Makanya saya jualan kecil-kecilan. Yang penting ada pemasukan.”
Mbak Ning tidak menyerah pada keadaan. Walau ia harus banting setir dengan berjualan. Demi kelangsungan hidup dirinya dan sang anak.
Meski tak mudah. Namun Mbak Ningsih berkeyakinan bahwa semua akan baik-baik saja selama kita percaya pada Sang Pencipta.
“Inilah yang bisa kulakukan. Bertahan di tengah gejolak ekonomi yang tak menentu. Berharap tidak tumbang walau merasakan guncangannya.”
Prinsip hidup yang patut ditiru oleh siapa pun. Tentang ketegaran hati seorang Mbak Ningsih dalam menyikapi hidup. (EP)