Oleh: Dwina
Butuh waktu yang lama untukku memahami, mengapa kepala ikan menjadi primadona di kota ini, terutama ikan kakap merah. Santapan berupa kepala ikan ini bisa bernilai dua kali lipat dari harga normalnya dibanding ikan utuh jenis lain. Berkali-kali aku hanya bisa mengernyitkan dahiku ketika menyaksikan sesama pembeli ikan di pasar yang menawar kepala lebih mahal daripada badannya.
Seringkali aku merasa diuntungkan jika berada di situasi seperti itu. Siapa yang tidak bahagia jika membawa ikan segar dengan timbangan tanpa berat kepala yang akan kami buang nantinya. Segera saja aku membeli bagian dagingnya yang akan di-fillet penjualnya sehingga ketika pulang nanti ikan akan dengan mudah dimasak karena sudah tak ada duri maupun kulitnya.
Suatu ketika, suamiku kedatangan tamu. Dia minta makanan khas dari kota yang kami tinggali ini. Bisa kami sebutkan ada coto daging, sop konro, ikan bakar, dan sup kepala ikan. Dia memilih sup kepala ikan. Suamiku yang sudah menawarkan hanya bisa mengikuti dan menunjukkan tempatnya.
Awalnya, hanya rasa aneh yang dirasakan lidah suamiku. Apa yang bisa dinikmati dari tulang-tulang tersebut? Tapi dia berusaha bersikap wajar karena sedang makan bersama tamunya. Mulailah dia memeras jeruk nipis diatas kuah sup itu, tak lupa sesendok kecil sambal di tuang juga. Dia mulai mencampur dengan sendoknya kuah yang ditaburi bawang goreng, kemangi, perasan jeruk nipis, dan sambal tersebut.
Dia mulai menyeruput kuahnya, membiarkan berbagai rasa yang ia campurkan tadi masuk ke dalam mulutnya, menggelitik indra pengecapnya, dan membiarkan kehangatan sup itu mengalir melalui kerongkongan.
Matanya melebar. Sensasi apa ini? Pikirnya. Rasa kuah kuning berempah yang hangat membuatnya merasakan sesuatu yang tidak biasa. Perpaduan gurihnya kaldu ikan, asam, pedas, dan harumnya bawang goreng serta kemangi langsung mengaktifkan sel-sel di seluruh tubuhnya.
Dia masih kurang percaya dengan suapan pertamanya, berpikir dirinya berhalusinasi menyukai rasa sup kepala ikan yang dipikirnya tidak akan memenuhi ekspektasi rasa. Diulanginya suapan kedua, ketiga, lalu ditambahkan dengan nasinya.
Sambil mengobrol dengan tamunya, tak terasa dia juga mencoba membongkar-bongkar kepala ikan di piringnya. dia tak lagi memakai sendok, jari-jemarinya mulai beraksi membedah isi kepala ikan.
Cubitan demi cubitan pada daging yang minimalis di bagian kepala tersebut membuat tantangan tersendiri. Susahnya mendapatkan daging membuat kunyahan di mulut terasa sangat istimewa. Dipadu dengan kuah dan nasi, lengkap sudah kelezatannya.
Hingga pada suatu waktu si tamu bertanya;
“Pak, itu tuh bagian daerah mata yang paling istimewa.”
“Ah, yang benar, Pak?”
“Iya, Pak… coba saja!”
Pengalaman pertama bergulat dengan kepala ikan membuat suamiku merasa geli melihat mata yang bulat tersebut sehingga dia memutuskan, mungkin belum saatnya dia memakannya. Ia masih belum terbiasa dengan kepala ikan ini.
Berawal dari pengalaman tersebut, kami berusaha bertanya pada teman, apa kunci resepnya. Kami juga menelusuri web, bagaimana kira-kira tahapan proses memasaknya sehingga kami dapat mencoba mempraktikkan di rumah.
Percobaan pertama kami tidak begitu mengecewakan. Bahkan, sehabis makan kami merasakan kepuasannya.
Kalau diingat kembali, dulu saat kami membeli ikan, jika yang namanya kepala dan duri itu ditinggalkan begitu saja, maka sekarang pasti kami bawa pulang. Kami tidak berhenti pada satu jenis kepala ikan tapi kami juga mencoba kepala ikan jenis lainnya. Tapi memanglah kakap merah adalah juaranya sebagai bahan dasar sup kepala ikan ini.
Dari situ, kami belajar bagaimana bisa menerima budaya di tempat baru kami. Kami tidak boleh antipati hanya karena kami belum terbiasa, terutama budaya kuliner. Hahaha. Sungguh merugi orang-orang yang tidak mau mencoba. Benar, bukan?
Photo by Bao Menglong on Unsplash