Semburat jingga kala senja itu masih menyisakan cengkrama dua sahabat yang sibuk dengan khayalannya impian masa depannya masing-masing. Gina dan Gita bagai kembar yang tidak terpisah, meski lahir dari rahim yang berbeda, namun keduanya begitu sering ditemukan bersama-sama. Keduanya berparas ayu, berkulit bening, behijab lebar, berpikiran cerdas dan berdaya juang keras. Keduanya dipertemukan dari Sekolah Dasar di kampung Melayu bagian ibukota Jakarta.
Jika Gina adalah tulen ibukota, maka Gita merupakan campuran blasteran Indo Uzbekiztan. Keduanya lahir dari kalangan berada namun tidak suka dengan pernak-pernik aturan dan ragam yang menyilaukan. Keduanya juga kerap terlibat dalam riak konflik yang menyesakkan meskipun getaran itu tidak akan pernah meremukkan ikatan. Hingga dua puluh tahun usia pertemanan, ternyata keduanya belum juga dipertemukan dengan sang Arjuna pencari cinta itu. Berlatar ombak dan biru pantai di Utara Jakarta itu sore itu, mereka mencoba kembali berkahayal tentang siapa sosok yang akan membersamai.
Gina memulai khayalannya.
“I don’t know who’s. Aku harap dia adalah yg bisa membuatku totally secure ketika bersamanya sebagaimana aku ketika bersamamu Git, sehingga apapun bisa kulakukan dengan ringan tanpa beban dan kepalsuan. Pokoknya tempat di mana aku bisa mencurahkan egala kasih sayang, kegundahan dan kebahagiaanku sebagaimana yang kualami saat bersamamu Git.”
“Terus… terus?” pancing Gita.
“Yaaa gitu, deeeh. Seseorang yang selalu bisa mengajarkan aku tentang ketenangan dalam setiap kerumitan yang datang, seseorang yang bisa memangilku sayang dengan kelembutan, seseorang yang bisa memelukkan dengan kehangatan yang dalam, seseorang yang bisa menciumku dengan penuh kemesraan, seseorang yang membebaskan aku dalam setiap kejadian yang menyenangkan namun segera menarik mengingatkan untuk hal-hal yang akan menimbulkan kesedihan dan penyesalan.”
“Terus, terus?” lanjut Gita lagi.
“Ah loe mah, terus-terus mulu!” sungut Gina.
“Gantian khayalan loe lagi!”
“Tar dulu… kayaknya khayalan loe masih panjang itu hahaha,” canda Gita kepada Gina.
“Hmmm yaaa… seseorang yang selalu bisa membisikkan aku tentang kebaikan dan kebajikan meski dalam cerita dongeng ketika mataku setengah terpejam. Seseorang yang bisa menerima segala tentangku dengan riang sehingga bersamanya hanya ada senang. Seseorang yang tetap membuatku ingat akan Tuhanku meski tengah berada dalam lembah maksiat. Seseorang seperti yang pernah kurasakan ketika bersamamu!”
“Eeeh busseeet, emang kita pasangan sejenis!” protes Gita.
“Ah loe mah! ya ga gitu…. Maksud gue nih yaaa… yang gue tuh bisa mencinta dengan jadi apa adanya, yang sama kalo gue lagi sama loe ya suka-suka gue kan mau bagaimana ke loe hahaha. Gitu.”
“Diiih, egois loe ah!”
“Diiih, ya nggaklah! Kan gue sah-sah aja dong punya kriteria. Gue percaya Allah akan ijabah khayalan gue bersama diaaa.”
“Uhuk! Dia siapeee, Mpoook?” hahhahah
“Ya dia…. Ada deeeeh.
Heeemmm… ooh Arjuna khayalan…
Aku tidak tahu tentang masa depan
Namun setidaknya aku punya mimpi tentang masa depan.
Aku tidak tahu apakah itu adalah kita
Namun setidaknya aku punya cerita tentang kita.
My miracle is you but my destiny maybe not you
Terima kasih telah menjadi cerita untukku.”
“Ckckckckckck dahsyatt!” Gita memberikan tepuk tangan untuk khayalan sahabatnya itu.
“Hayo! Sekarang giliran loe, Git! Hayo, gimana Arjuna khayalan loe?”
“Heeeem… hemmm.” Gita mengernyitkan dahinya.
“Buruaaan!”
“Heeem… apa yak? Ntar kalo gue bilang mirip kayak yang loe juga, dikiran gue dapet barang bekas loe hahahaha.”
“Sial. Edan loe!”
“Yaaa…who’s my Arjuna? I think…ya udah deh berenti ngayal!!!” Gita berlari meninggalkan Gina.
“Gitaaaa… awas loe ye! Curang loe!”
Lalu mentari sore itu pun tenggelam kemudian menyisakan gulita berselimut angin malam.
Photo by Andrew Neel on Unsplash