Flash Fiction Lia Nathalia: Hadiah Zona Merah

“Wah luar biasa. Bangga saya dengan prestasi lingkungan kita,” kata Mince dengan suara riang. Anggota satuan pengamanan yang sedang bertugas, saling memandang.

“Prestasi apa bu?” tanya Ajui, salah satu dari mereka. “Itu prestasi loh,” balas Mince sambil menunjuk spanduk lebar berwarna putih di tembok dekat taman bermain anak.

“Ah, ibu becanda. Itu bukan prestasi. Itu bahaya,” kata Kinan, kawan Ajui yang terkenal kalem. “Mana ada zona merah disebut prestasi,” sambungnya.

Mince tak mau kalah. Menurutnya, spanduk putih bertuliskan daerah ini masuk zona merah adalah sebuah capaian. Harus dilihat dari sisi positif.

“Itu tandanya, kita harus makin rajin mengingatkan yang lain Pak, biar mereka taat menjalankan prokes. Kita lihat sisi positifnya. Setiap warga RT ini, pasti sekarang merasa harus melakukan prokes supaya spanduk itu cepat dicabut,” kata Mince.

Kedua anggota satuan pengamanan kompleks hanya bisa manggut-manggut, malas berbalas kata dengan Mince. Mince pun berlalu.

Padahal, di dalam hati Mince, dia kesal sekali. Sudah lebih satu tahun, dia berusaha taat protokol kesehatan. Pakai masker menutupi hidung dan mulut kalau beraktivitas di luar rumah, bahkan untuk menyambut pengantar pesanan gas dan air isu ulang, ia harus bermasker.

Mince bahkan pernah melakukan isolasi mandiri hamper dua bulan pada awal-awal kasus Covid-19 mulai ditemukan di Indonesia. Mince wajar kesal, karena banyak warga di RT-nya yang lalai sejak awal untuk mentaati protokol kesehatan.

“Kenapa sih orang Indonesia suka sekali antri mepet-mepet, tak mau jaga jarak. Kan mati juga nanti sendirian, harusnya pada bisa membiasakan diri untuk tak berkerumun. Apalagi lagi pandemi seperti ini,” keluh Mince suatu waktu ke anggota satuan pengamanan, saat dia meminta mereka menegur orang-orang yang tak menggunakan masker, tapu masih dibiarkan lalu lalang dengan bebas. Mince nyerocos melebihi maksud awalnya.

Ajui, Kinan, Sapto, Benu dan anggota satuan pengamanan lainnya baik di lingkungan RT dan RW, hampir semua kenal Mince. Ibu Mince, begitu mereka selalu memanggil perempuan lajang, berumur pertengahan 30an itu. Mince yang sibuk menggalang dana warga untuk membeli masker buat mereka saat awal-awal Covid-19 merebak. Mince juga ikut repot menjelan Lebaran, aktif menggalang dana warga untuk paket Lebaran para anggota satuan pengamanan, tim kebersihan dan para teknisi yang selalu membantu warga di RT itu.

Tapi kata-kata Mince soal prestasi RT 10 RW 02 yang saat ini dimasukkan dalam kategori zona merah, adalah ekspresi kekecewaannya pada para tetangga yang tak patuh pada prokes. Mereka sibuk saling tuding dan menyalahkan orang lain, tanpa ingat bahwa segala perubahan itu harus dimulai dari diri kita sendiri.

Bahkan saat pemerintah menyediakan vaksinasi gratis buat warga se-RT-nya, banyak yang masih piker-pikir dulu seperti saat ditawari produk pakaian dan kosmetik oleh pramuniaga di toko swalayan. Padahal, vaksinasi adalah salah satu cara meningkatkan imunitas tubuh untuk melawan virus. Begitu kira-kira penjelasan Mince kalau sedang dongkol dan hanya bisa mencurahkan isi hatinya ke para anggota satuan pengamanan, yang hanya bisa manggut-manggut mengiyakan.

Well, pandemi entah berapa lama lagi baru berakhir. Ikhtiar baik saja tak cukup. Perlu juga aksi nyata, melakukan hal-hal yang dapat melindungi diri kita, orang-orang terkasih, lingkungan tempat kita tinggal  dan beraktivitas.  

RT di mana Mince tinggal jadi zona merah karena banyak warganya terkena virus Covid-19. Ada yang harus dirawat di rumah sakit, tapi yang tak parah harus melakukan isolasi di rumah masing-masing dengan pantauan petugas kesehatan dari Puskesmas terdekat.

Masuk zona merah bukan hadiah, itu tanda lemahnya kesadaran warga RT Mince melakukan upaya pencegahan Covid-19. Apakah karena lalai menerapkan prokes atau faktor lain, entahlah.


Photo by Dhaya Eddine Bentaleb on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *