Flash Fiction Iecha: Pada Suatu Sore

Adisha meraih ponselnya saat terdengar pemberitahuan muncul dari aplikasi hijau. Seseorang dengan profil bergambar karikatur mengirimnya pesan. Jemari Adisha lekas meng-klik pesan itu. Ucapan salam dan bulatan kuning bergambar senyum hadir di layar.

Dishaa: Wa’alaikum salam.

Kakex: Apa kabar?

Dishaa: Alhamdulillah baik. Kakak?

Kakex: Alhamdulillah baik juga.

Percakapan itu terhenti. Di bawah nama Kakex yang Adisha berikan untuk sosok di seberang, kini hanya bertuliskan last seen at 21.20. Adisha menunggu beberapa saat. Namun, Ferdi—orang di balik sebutan Kakex—tidak juga bersuara lagi. Adisha mengetik lagi.

Dishaa: Sekarang jarang nulis blog lagi?

Kakex: Males.

Dishaa: Kenapa?

Kakex: Sekarang aku udah punya temen cerita.

Dishaa: Cewek?

Kakex: Hm ….

Beberapa saat Adisha terdiam, tidak ingin berkomentar apa pun atas jawaban Ferdi. Hanya menatap layar. Dua tahun dilalui bersama membuatnya mengenal betul cara Ferdi menjawab. Adisha mengusap wajah saat hatinya mendadak perih. Luka setahun lalu belum pulih dan kini Ferdi kembali menabur lukanya dengan garam.

Harusnya aku nggak mancing dengan pertanyaan itu, sungut Adisha dalam hati.

Bayangan kisah setahun lalu kembali bermain di benaknya. Warung steak di bilangan Tebet tempat biasa mereka menghabiskan waktu, sore itu terasa berbeda dari biasanya. Entah kenapa, udara terasa panas meski mereka sudah berusaha mengendalikan emosi. Hingga kata selesai menjadi kesepakatan mereka.

Jangan tanyakan tentang hatinya, sebab mungkin tidak lagi berbentuk. Kesepakatan itu menghancurkannya hingga berkeping-keping. Sekuat hati ia berusaha menahan air mata agar tidak jatuh di tempat umum seperti ini. Setitik dua titik lolos. Seperti itu juga yang sempat ia lihat dari mata Ferdi.

Nada notifikasi pesan pribadi terdengar lagi. Adisha segera mengambil ponselnya. Kakex tertulis sebagai pengirim pesan singkat itu.

Kakex: Yuhuuu. R u ok?

Dishaa: Yups! I’m happy for you, Kak.

Kakex: Thanks!

Dishaa: Aku tunggu. Nanti aku kenalin ke temen cerita aku sekarang.

Kakex: Dion?

Nama itu lagi! Adisha menghela napas.

Sosok tinggi berambut lurus itu seketika memenuhi pikiran Adisha. Dion teman akrabnya. Rumah mereka sebelahan. Setelah lulus SMP mereka terpaksa berpisah. Dion ikut ayahnya bertugas di KBRI Seoul. Tepat sebelum pandemi menerpa Korea Selatan, Dion kembali ke Indonesia.

Mereka berbincang dari atap rumah masing-masing sebelum akhirnya memutuskan berkeliling Jakarta, mencari aneka jajanan pinggir jalan. Dion terlalu gembira. Beberapa kali ia memotret dengan ponselnya, dan menaruh di Instagram dengan menandai Adisha.

Salahnya Ferdi yang stalking Instagram Adisha sampai ke kolom Tag. Pesan singkat itu kemudian muncul, mempertanyakan sosok yang bersama Adisha. Salahnya Adisha yang lupa menceritakan tentang Dion. Pun, ia lupa jika mereka sama-sama sedang lelah karena beban pekerjaan.

Sejak hari itu, telepon atau pesan singkat jadi terasa menyebalkan. Apalah lagi bertemu. Mereka hanya bertemu sekali. Ya, untuk menyelesaikan semuanya.

Meski begitu, Adisha tetap menyimpan nomor Ferdi dan tidak berniat memblokirnya. Hanya mengganti nama saja menjadi Kakex. Ia yakin Ferdi juga seperti itu, Ia masih bisa melihat status Whatsapp dari Kakex yang isinya didominasi edukasi tentang pandemi. Tidak sekali pun mereka berbincang. Ini pertama kalinya sejak sore itu.

Ferdi masih online, menunggu jawaban atas pertanyaan tadi. Kali ini, ia tidak ingin menjawab jelas. Hanya mengirim “Hm ….” dan membiarkan Ferdi memutuskan sendiri jawabannya. Setelahnya, ia mematikan ponsel dan menarik selimut. Waktunya tidur.

***

Udara malam yang sejuk tidak juga mampu membuat Adisha lelap. Berkali-kali ia berguling, membolak-balik bantal, tetap saja alam mimpi tidak kunjung terbuka untuknya. Pikirannya masih tertambat pada chat kemarin malam dengan Ferdi.

Harusnya aku bisa berbahagia, tapi kenapa aku nggak bisa? Kenapa buat ikhlasin Kak Ferdi buat orang lain? Padahal, dia bukan siapa-siapa lagi.

Adisha meraih ponselnya, lalu menyalakannya kembali. Hampir tengah malam. Tidak ada pesan singkat lagi dari Ferdi sejak kemarin. Ia menekan logo huruf G besar di layar, dan mengetikkan alamat blog unofficial milik Ferdi di sana. Sebentar saja, blog berwarna biru itu sudah muncul di layar.

Blog itu adalah catatan hariannya. Ferdi sangat rajin menulis apapun di situ. Terkadang, ia menulis kisah yang ia temukan di jalan saat pulang atau berangkat bekerja, ulasan lagu, bahkan puisi. Blog itu adalah cerita mereka. Ferdi sangat sering menulis puisi untuk Adisha, menulis catatan perjalanan mereka ke berbagai tempat, bahkan pernah meng-upload  undangan pernikahan yang belum ada tanggalnya.

Dish, udah buka blog aku?” Itu sapaan khas Ferdi di pagi hari lewat telepon.

“Belum. Kakak tulis apa?”

Kejutaaan!

Kejutan itu kini tidak pernah ada lagi. Ferdi tidak pernah lagi menyapanya lewat telepon, dan menyuruhnya membuka blog. Postingan teratas bertanggal tahun lalu, beberapa hari sebelum mereka bersepakat untuk berpisah. Hanya sebuah tulisan singkat tentang seorang anak yang tidak berhasil mendapatkan sepatu impiannya karena tidak punya cukup uang.

Adisha tahu, fokus Ferdi bukan pada sosok anak itu. Tulisan itu merupakan kiasan atas apa yang sedang ia rasakan. Ferdi merasa gagal mempertahankannya, Adisha tahu itu. Ferdi merasa kurang dalam banyak hal dibanding Dion. Padahal, Dion bukan siapa-siapa. Hanya seorang tetangga yang tiba-tiba merasa asing di negaranya sendiri.

Lekas ia menutup blog Ferdi, kemudian membuka blognya. Di kolom postingan baru ia mulai mengetik, meluapkan semua yang mengusik alam pikirnya sejak kemarin, sekaligus balasan atas postingan Ferdi tahun lalu. Cukup panjang ia mengetik. Saat suara tiang listrik yang dipukul satu kali terdengar, ia mempublikasi postingan itu lalu menutup blognya.

***

OTW tempat biasa.

Adisha memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah menaruh kalimat itu di status Whatsapp-nya. Sebuah sepeda motor dengan pengemudi berjaket hijau sudah ada di depannya, siap mengantar ke tempat yang ia sebut tempat biasa.

Entah kenapa, sore ini ia ingin menyambangi lagi warung steak itu. Sekadar menikmati milkshake sambil menngingat lagi ceritanya dulu bersama Ferdi. Hampir setiap akhir pekan mereka ke sana usai berpetualang ke berbagai tempat. Mereka selalu beruntung karena mendapat meja yang nyaris selalu sama. Seakan para waiters sudah menaruh label booking di atasnya, sehingga tidak ada yang menempati.

Ia tidak yakin apakah Ferdi akan melihat statusnya. Kalaupun melihat, ia yakin Ferdi tidak akan mengerti maksudnya. Sudah setahun sejak warung steak itu tidak lagi menjadi “tempat biasa” mereka. Ferdi pasti berpikir ia punya tempat biasa baru, meski pada kenyataannya ia enggan keluar rumah sejak pandemi melanda.

Dari meja ini ia bisa menikmati suasana sore yang mulai semarak menjelang waktu berbuka puasa. Orang-orang berdatangan, mengisi meja-meja bertanda booking. Ia beruntung, mejanya dulu tidak ada tanda tersebut. Ia duduk di sana dan membuka ponsel. Baru saja ia ingin login ke blog, seseorang bermasker duduk di hadapannya.

“Sendiri?”

Adisha mengangkat kepalanya, demi melihat sosok yang suaranya sangat familiar. Sedetik kemudian, ia tersenyum dan mengangguk.

“Nggak sama Dion?”

Bahu Adisha mengedik meski tidak urung jantungnya berdegup cepat. “Ceweknya Kakak di meja mana?”

Sosok itu menurunkan maskernya—menampakkan wajah yang dirindukan Adisha—lalu terkekeh kecil. “Di sini.”

“Ish! Mana?”

Ferdi mengeluarkan ponsel dan menguliknya sebentar, lalu menyodorkannya pada Adisha. “Kenal?”

Wajah Adisha seketika memerah. Bukannya kenal lagi. Yang Ferdi sodorkan adalah postingan yang ia tulis malam itu. Ia merutuk dirinya yang terlalu gamblang menuliskan isi hati. Ia terlupa kalau Ferdi adalah pengunjung tetap blognya, sebelum setahun lalu.

“Dish, abis lebaran aku ke rumah kamu, ya?”

“Mau ketemu Dion?”

“Mau ketemu ayah kamu. Dion sih, udah pernah ketemu.”

“Eh?”


Photo by Julian Paolo Dayag on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *