Senyum manis sang surya menemaniku menyusuri gang sempit menuju halte. Kulirik jam berwarna hitam kesayangan, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 07.30. Sampai di halte kulihat sudah ada tiga orang yang berada di sana. Tak sampai 5 menit, metro mini yang biasa kunaiki pun datang. Sekilas tampak beberapa penumpang yang berdiri. “Hmm, jam segini sudah ramai saja. Apa karena hari Senin, ya?” batinku sambil tetap memasuki metro mini bercat hijau dan putih itu.
Kalau berhasil mendapat tempat duduk, biasanya aku membaca buku. Sayangnya, pagi itu aku harus rela berdesak-desakan di dalam metro mini. Saking penuhnya, sampai-sampai pengamen yang biasanya mewarnai pagiku dengan dendangannya, tak bisa masuk juga ke dalam angkutan umum khas ibukota itu. Perjalanan dari kos menuju kantor sekitar 15 menit, sehingga tidak menjadi masalah juga kalau aku harus berdiri. Ketika sampai di dekat kantor, posisiku masih terjepit di antara para penumpang.
“Tok! Tok! Tok!” kujentikkan punggung jari telunjukku di bagian atas metro mini sebagai tanda bahwa aku hendak turun. Saat aku baru saja turun dari metro mini, tiba-tiba dari arah belakang ada yang memanggil, “Mbak! Mbak!” Aku menoleh ke sumber suara. Seseorang menjulurkan tangannya lewat jendela dan menyodorkan sebuah charger handphone berwarna hitam. Lantas, aku berjinjit mengambilnya. Sayangnya aku tak sempat melihat wajah pemilik tangan itu.
Betapa kagetnya aku dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Aku membatin, “Mengapa charger handphone-ku bisa terjatuh?”
Jantung berdegup kencang tatkala melihat tas telah terbuka. Retlestingnya telah bergeser. Lalu, aku pun menggeledahnya. Alhamdulillah, handphone-ku masih ada. Dompet merah bermotif mawar juga masih ada.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun… ada satu dompet yang hilang,” jeritku dalam hati. Dompet itu berisi sebuah flash disk. Naskah calon buku pertamaku ada di flash disk berukuran 16 giga byte itu. “Mana belum sempat aku back up ke laptop,” umpatku kemudian. Kesedihan mulai menyergap karena ada beberapa tulisan yang belum sempat kupindahkan ke laptop dan kuunggah ke media sosial. Mungkin pencopet itu mengira bahwa dompet yang berhasil dia ambil berisi uang.
Sedih memang, tapi aku yakin bahwa setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Jika memang flash disk itu berpindah tangan, semoga Allah memberi pengganti yang lebih baik.
Setahun pun berlalu sejak peristiwa itu. Sore ini aku jalan-jalan ke toko buku favoritku. Ternyata ada acara bedah buku baru di sana. Aku tertarik mengikutinya. Seorang penulis baru bernama Cahya Hidayat sedang menggelar bedah buku. Aku membeli bukunya yang berjudul “Inspirasi Sang Penulis”. Setelah itu, aku memilih duduk di kursi paling depan yang masih kosong.
Aku cermati buku itu. Kubuka lembar demi lembar halamannya. Sepertinya tak asing dengan isinya. Rasa penasaranku terjawab sudah tatkala Cahya Hidayat berkisah bahwa dulunya ia adalah seorang pencopet. Ia tersadar saat membaca tulisan-tulisan dari sebuah flash disk yang berada dalam dompet yang dicopetnya. Aku tercengang. Buku “Inspirasi Sang Penulis” adalah calon buku pertamaku yang seharusnya berjudul “Jalan Cinta Para Penulis”.
Seketika aku bingung, memilih diam karena bisa menjadi jalan cahaya bagi sang penulis ataukah menemuinya lalu berkata bahwa aku adalah korban aksi copetnya setahun lalu?
Etika Aisya Avicenna
Terlahir kembar pada 2 Februari. Saat ini berprofesi sebagai statistisi (ASN). Senang membaca, menulis, jualan online di @supertwinshop, dan jalan-jalan. Ada puluhan karya anggota FLP DKI Jakarta ini yang sudah diterbitkan baik solo, duet, maupun antologi, seperti: “The Secret of Shalihah”, “Diary Ramadhan”, “Dongeng Nyentrik Alesha”, dan lainnya. IG: @aisyaavicenna
Photo by Brad Neathery on Unsplash