Bisik-Teriak yang Mengusikku

Oleh: Lisvy Nael

Setelah si bangau hijau terbang lagi, aku masih belum sepenuhnya mengerti apa yang saat ini terjadi pada bumi. Yang kurasakan, pelayaran kali ini lebih sepi dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada arakan rokoroko, cekakak suci, maupun gagang bayam timur. Tidak ada pula kisah-kisah magis dari para penyu. Bahkan para bangau yang biasanya mewarnai langit menjadi merah muda, tidak ada.

Saat menyelam sebentar, karang-karang menjadi lebih cerah dari biasanya. Bukan seperti manusia, putih pucat seperti segalanya, sementara bagi karang itu adalah tanda bencana umat dunia. Lantaskah aku harus berbangga berada di sini menyaksikan beragam bencana? Atau haruskah aku bersiap untuk ke angkasa, tinggalkan bumi yang makin gerah saja.

Hari ini cukup melelahkan. Kapalku tetap tak banyak beranjak. Hanya sedikit bergerak. Namun, tepat setelah matahari terbenam dan langit menjadi sangat legam, Anging Mamiri menyentak kain penghangatku. Terkesiap, aku hendak menghardiknya. Akan tetapi, Ia tampak asyik saja berlalu sambil berlagu. Senandungnya berganti-ganti. Dari lagu tentang kasih cinta, sampai cerita paling sendu.

Di sela-sela nyanyiannya, kudengarkan teriakan-teriakkan manusia. Pastinya Anging Mamiri membawanya dari darat. Sial sekali, kenapa Ia tak menyaringnya saja. Aku sedang malas mendengar keluh kesah manusia. Meskipun sebenarnya, hatiku lebih sakit karena tidak dapat melakukan apa pun untuk membantu meringankan derita mereka. Bisa apa aku? Petapa waktu yang melarikan diri di tengah samudera.

“Dok… tolong mamakku,” teriak suara laki-laki menyapa yang lainnya dengan panggilan dok.

“Covid-19 itu tidak ada. Ini hanya konspirasi saja. Jangan mau dibodohi para kapitalis!” Sebuah ujaran melayang-layang di layar gawai. Merunyam-padamkan hati dan kepala beberapa yang membacanya.

“Terapkan prokes. Ingat 3T, 3M, 5M. Jogo tonggo. Tidak usah keluar rumah kalau tidak urgen. Ayo vaksinasi.” Suara-suara itu lebih nyaring dan lebih sering terdengar.

Sementara bersama Anging Mamiri, kulihat cahaya-cahaya kilat tipis menjadi lebih berwarna-warni. Seperti benang yang tersusun menjadi sebuah kanin tertenun. Dari kliatan-kilatan itu pula lah asal suara-suara.

“Anging… apa yang terjadi? Kenapa kau bawa ribut kemari? Bising sekali aku tak bisa berkonsentrasi.” Kataku lelah dengan kebisingan yang dibawa si Anging.

“Hm… enak kali moko. Bersunyi-sunyi sembunyi di sini. Tidak perlu hirau apa itu virus-virus membikin mati.” Tatapannya sangat tajam. Nadanya sangat sinis. Aku meringis mendengarnya begitu sarkas.

“Aku melakukan pelayaran ini untuk menuju masa depan. Sekalian pula berlindung dari kebisingan-keserakahan. Lantas kau bawa kebisingan ini ke mari. Bagaimana aku tidak merasa kesal?” Sanggahku tak kalah sengit.

“Harusnya ko malu. Umatmu sedang berjibaku dengan hal-hal baru. Hantu-hantu yang lebih menakutkan daripada kain putih belacu yang menggantung-gantung di udara itu.

“Harusnya ko malu. Apa gunamu bagi umatmu? Bersimpati saja ko tidak mau. Segala membela diri menuju masa depan. Ko kira dengan pelayaran ini ko akan sampai di masa depan? Padahal bisa saja setibanya Ko di daratan, sudah musnah seluruh peradaban.” Jengkel sekali nadanya. Aku pun ikut jengkel mendengar ocehannya.

“Ah, lebay sekali mengatakan peradaban musnah. Manusia tidak akan musnah. Jika melihat pesawat tercepat yang terbang ke antar benua dalam sekali kedip, otaknya berkembang lebih pesat dari pada itu. Kau tau jelas itu!” Aku masih tak mau kalah.

“Selain mengagungkan diri sebagai mahluk paling berbudi pekerti. Mahluk paling canggih dengan otak yang mampu melintasi langit hingga lapis ke tujuh. Ko pun lupa, jika manusia adalah mahluk paling bodoh yang merusak rumahnya sendiri.” Selepas titik, Anging Mamiri melesat meninggalkan bunyi gaduh di seluruh badan kapal. Aku sebal bukan kepalang, layarku sedikit koyak karena gerakannya yang tiba-tiba.

Meski begitu, aku tertegun dengan kalimat pamungkasnya. Tidak menyangkal sama sekali ucapannya tentang umat paling bodoh, manusia, yang merusak rumah sendiri.

Hm… tentang apa yang terjadi, aku tidak tahu harus bagaimana. Jika aku segera mendarat untuk memberikan tanganku, aku mungkin takkan selamat. Aku tak punya pengetahuan untuk menghadapi hantu-hantu baru itu. Aku juga mungkin akan berakhir menjadi salah satu hantu jika nekat untuk segera menepi.

Biarlah… biar mereka yang lebih punya budi pekerti dan jiwa-jiwa suci menuntaskan misi mulia ini. Aku akan mematuhi untuk tidak berkerumun. Menyendiri di lautan paling sepi agar masa depan punya waktu sedikit lebih lama.


Photo by Noorulabdeen Ahmad on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *