Apakah Kita Zombie?

Oleh : Siti Atikah (Atik)

Saat liburan adalah saat me time. Yup, setidaknya sesederhana itu arti liburan buat saya. Ngapain? Yaaa, melakukan sesuatu yang bikin hati senang saja, tanpa harus dirusuhin dengan tumpukan tugas rutin di hari kerja reguler. Ngga pergi ke mana gitu? Untungnya saya bukan termasuk orang yang suka travelling. Kalau ada kesempatan, diambil. Kalau tidak ada karena nggak pernah nyiapin budget khusus atau karena batasan mobilisasi alias lockdown seperti di situasi pandemi yang masih merundung negeri ini, yaa saya termasuk yang santai aja. Alhamdulillah, nggak merasa stress karena nggak bisa jalan-jalan. Hehehehe

Me time buat saya berarti bersantai di rumah. Bisa baca buku, nonton film/drama seri, atau berselancar di dunia maya. Nah, setahun terakhir ada hobi baru yang jadi me time juga buat saya, yaitu membuat video cover song dengan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) yang saya unggah di akun media sosial pribadi. Unggahan video cover song tersebut belakangan saya kemas dengan sedikit tulisan yang terkait dengan isi lagu sebagai reminder pribadi. Syukur-syukur kalau dibaca dan jadi manfaat buat orang lain😉

Seperti hari ini misalnya. Saya baru saja selesai menggarap request salah satu follower saya untuk mengcover lagu lawas berjudul Zombie milik The Cranberries. Wow, menantang! Sambut saya menyanggupinya beberapa waktu yang lalu. Akhirnya, saya ulik-ulik instrumen yang bisa digunakan dari YouTube, yang cocok dengan warna suara saya. Heheheh, kalau karaoke pake musik aslinya nggak pas euy karena vokalis The Cranberries punya vokal yang khas dan unik.

Namun, ketika saya baca dan pahami bait demi bait liriknya, duuuh… sontak lirik lagu ini membawa pikiran saya melayang akan nasib anak – anak korban kejahatan kemanusiaan di belahan bumi yang masih saja berkecamuk peperangan. Kelebat bayangan wajah-wajah bocah kecil yang kehilangan senyumnya melintas begitu saja. Yaa, wajah-wajah yang mampir di pemberitaan layar kaca maupun sosial medial beberapa pekan lalu ketika muntahan bom, rudal, dan bidikan senapan api Israel menyerang Palestina tanpa belas kasih. Aaah tidak, bukan hanya beberapa pekan lalu. Tragedi ini bahkan telah terjadi jauuuuuh sejak sebelum saya lahir bahkan. Darah dan tangis mereka tumpah direnggut kekejaman tangan-tangan penjajah maupun iblis berkedok manusia.

Sementara kita di sini, masih saja berkutat dengan pro-kontra mengenai virus yang tengah melanda dunia sejak lebih dari setahun terakhir ini.😔

Memang sejatinya, sebagai muslim, saya meyakini bahwa apapun yang terjadi di muka bumi ini adalah atas izin Allah semata. Iman terhadap ketentuan dan takdir Allah termasuk dalam rukun Iman yang menjadikan manusia sebagai muslim. Mengapa demikian? Bagi saya, hal itu agar kita sebagai manusia sadar bahwa kita punya batas. Kita hanyalah sekadar makhluk. Sebagai makhluk, kita tidak layak untuk sombong walau hanya seujung kuku sekalipun karena segala yang kita miliki di dunia ini adalah rahmat Allah, Sang Maha Kuasa. Hingga ketika diberi kelebihan, dengan beriman pada ketentuan dan takdir Allah, maka kita diajarkan untuk bersyukur. Bagaimana cara bersyukurnya? Dengan tidak menyimpan kelebihan itu hanya untuk diri sendiri karena faedahnya menjadi terbatas, tidak berkembang. Berbagilah sesuai tuntunan syariatNya. Karena Allah sendiri sudah berjanji dalam firmanNya, yang berbunyi:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S. Ibrahim: 7)

Lalu, bagaimana ketika justru keadaan pahit penuh derita yang kita terima? Seorang sahabat pernah mengatakan pada saya bahwa supaya hidup tentram itu kuncinya ketika berdoa jangan banyak-banyak. Cukup begini:

 Yaa Allah… jadikanlah hambamu ini termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang bersyukur atas segala hal apapun yang Engkau berikan. Dan berikanlah kami kesabaran dan kepasrahan dalam menghadapi ujianMu.

Ketika saya pikirkan ucapan sahabat tersebut, dalam hati saya meng-iya-kan karena obat penderitaan itu adalah rasa syukur dan memahami makna beriman atas ketetapan dan takdir Allah tadi. Supaya apa? Yaa supaya kita tidak kehilangan diri ini sebagai manusia akibat stres maupun luka batin berkepanjangan dalam menghadapi hidup. Allah sudah menentukan kadar kesanggupan kita menerima ujian dariNya. Saya percaya itu.

Kembali kepada lirik lagu Zombie yang membuat saya menyentil diri ini. Menyentil kalian juga, nggak? Hey, lo tuh zombie atau manusia? Kalo Zombie, beuuuh pantesan nggak punya hati. Hidup, namun bak sudah mati. Tak mampu lagi melihat sesamanya yang sedang menderita, membutuhkan uluran tangan. Malah justru hendak “menggigit” dan “memakan” yang terlihat sedang mencoba bertahan…. Duh, bergidik membayangkannya. Menjadi zombie seperti di film Korea berjudul Train To Busan. 

Lalu, jika saya, kamu, kita adalah manusia, maka lirih, muncul di benak ini akan tanya. Apa yang sudah kita perbuat demi sekadar meringankan beban mereka yang tengah dibelenggu penderitaan? Karena perang kemanusiaan maupun karena Covid-19. Adakah kita hanya ikut memaki atau berdiam diri tanpa berbuat sesuatu bagi mereka? Mereka manusia. kita pun manusia. Adakah tersisa hati untuk berbagi? Apa yang kita mampu untuk berbagi? Relakah kita mengorbankan sebagian dari waktu, tenaga, ataupun harta kita untuk mereka yang tengah berjuang di tanah peperangan maupun di tengah hantaman pandemi? Hanya masing-masing diri inilah yang mampu menjawabnya…..

12 Juli 2021

Hari ke-7, Lock Down Writing Challenge books4care, kinaraya.com

#atikberbagikisah

IG : atikcantik07


Photo by Ahmad Odeh on Unsplash

One Comment on “Apakah Kita Zombie?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *