Oleh: Cicih M Rubii
Sreeek!
Plastik kemasan seragam baru dibuka anakku dengan tak sabar. Beberapa alat tulis berserakan di sebelahnya. Sepatu baru masih utuh dalam kotak.
Aku mengamatinya sambil merapikan belanjaan yang lain. Nota-nota pembelian berserakan. Keperluan buat awal sekolah tatap muka lumayan juga jika ditotal.
“Aku coba ya, Mah!”
“Iya Kak, kalau tidak pas bisa segera tukar!” ujarku menyetujui.
Aku bolak-balik merapikan semua hasil belanjaan. Alhamdulillah kemarin ada rezeki, jadi bisa mempersiapkan keperluan sekolah. Seragam dan sepatu sudah kekecilan semua.
“Mamah, seragamnya terlalu kecil!” teriak anakku dari ruang tamu.
Aku yang sedang membuat minuman di dapur segera mendekat. Penasaran sekaligus tak percaya.
“Kok bisa kekecilan? Bukannya tadi sudah dicoba di sana?” ujarku terheran-heran.
“Beneran Mah, kekecilan. Lihat nih!” jawab anakku sambil membentangkan tangan.
Saat membeli keperluan sekolah tadi, sengaja kubawa anakku serta agar bisa dicoba. Tak disangka, saat dicoba di rumah seragam kekecilan.
“Ya Ampuuun, Dek! Pasti seragamnya tertukar dengan ibu-ibu tadi yang beli seragam juga” ujarku kaget.
“Yaudah, mamah balik lagi ke toko sekarang. Kalau nanti-nanti, bisa jadi tidak kebagian” ujarku kecewa.
Menyesal kenapa tadi sebelum meninggalkan toko tidak dicek terlebih dahulu. Terbayang perjalanan yang lumayan jauh, dengan cuaca panas menyengat. Belum lagi antrian panjang orang tua yang mau beli seragam baru.
Ah, biarlah. Yang penting sudah bisa tatap muka, batinku menghibur diri. Sudah tak sabar lagi.
“Kak, Bu Guru bilang awal juli nanti sekolah tatap muka,” ujarku sepulang bagi raport.
Raport tebal yang kupegang kuletakkan di atas meja. Salahsatu informasi yang menggembirakan yaitu tentang sekolah tatap muka di awal tahun ajaran baru.
Lega rasanya, akhirnya anak-anak bisa sekolah tatap muka meskipun terbatas. Setelah setahun lebih sekolah dari rumah karena pandemi.
“Asiiik! Beneran Mah?” Tanya anakku saat kukabarkan informasi tersebut.
Wajahnya berbinar-binar mendengar berita baik ini.
Bukan hanya anak-anak yang sudah sangat bosan, akupun sebagai ibunya sudah sangat stress.
Anak-anak sangat rindu sekolah, ingin bertemu ibu guru dan teman-teman. Ingin duduk belajar di kelas dan berlarian di halaman.
Sementara aku, merasa kesulitan mengendalikan ritme belajar anak-anak di sekolah.
Merasa sedih, hafalan quran anakku mengalami penurunan yang signifikan. Juga kebiasaan-kebiasaan baik yang selama ini dilaksanakan di sekolah luntur.
“Sebenarnya jadi gak sih tatap muka?”tanya seorang ibu kasak-kusuk di sebelahku.
“Ah, semoga saja, Bu. Aku udah stress ngadepin anak-anak belajar di rumah,” jawab ibu sebelahnya.
“Tapi, korban Covid semakin banyak. Apa iya bisa tatap muka? Aku was-was!” ujar ibu pertama tadi.
“Bener banget, kompleks aku zona merah. Setiap hari ada kabar duka karena Covid,”pungkasnya ngeri.
Aku ingin ikut nimbrung mendengar bahasan obrolan mereka yang memang sedang up to date. Tapi kuurungkan. Rata-rata para ibu sudah tak kuat, anak-anak belajar di rumah.
Semoga saja pandemi ini segera berlalu, harapku.
“Drrrt!”
Bunyi notif hijau masuk ke gawaiku. Penasaran kubuka informasi di grup kelas anakku. Ada surat yang dikirim dari sekolah. Aku segera membukanya, penasaran isinya. Lunglai. Aku meletakkan gawai di meja begitu saja.
“Kenapa, Mah? Buka HP kok lemes?” tanya suamiku keheranan melihat ekspresiku.
“Gagal tayang, Pah!’ ujarku sangat kecewa.
“Mamah emang ikut syuting sinetron apa? Kok gak jadi tayang?” tanya suamiku dengan wajah melongo.
“Hmm, gak lucu, Ayah!” ujarku makin senewen.
Kulempar seragam yang tergeletak ke kolong meja. Kulempar sepatu ke atas lemari. Suamiku semakin bengong, tapi tak bertanya apa-apa lagi.
Photo by Egor Myznik on Unsplash