Pengorbanan Seorang Perempuan

Oleh: Windu Utami Surya Dewi 

Baginya panggilan Ibu adalah sebuah panggilan terindah di dunia.  Tatkala kehidupan baru bersemayam di dalam rahimnya.  Kecil,  lemah,  dan tak berdaya. Terbaring dengan nyaman di bawah perlindungan sosok terbaik yang dikirim Tuhan untuknya.  Waktu menjadikannya tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus dalam garis keturunannya.  Bergantung seluruhnya kepadanya. 

Tatkala menjaga nyawa dalam rahim,  hingga selesai kontrak di dalam alam kandungan nyawa yang hanya satu pun bersedia dipertaruhkan. Memperjuangkan sosok itu dengan segala perjuangan terbaik yang bisa dilakukan. Bahkan rasa sakit yang teramat sangat setara sayatan ratusan pedang dan tulang yang dipatahkan serentakpun rela dijalaninya demi menimang sosok hidup itu. 

Selama masa penjagaan itu, ia akan abai akan kondisi dirinya.  Bentuk badan yang menjadi lebih besar lantaran porsi makannya yang bertambah, mood yang selalu berubah hingga kebiasaan lain yang harus ditanggungnya. 

Setelah pengorbanan nyawa selesai,  apakah berakhir? 

Ternyata belum,

Sang Ibu harus menyusui selama dua tahun.  Selama masa ini sekali lagi ia akan abai terhadap dirinya.  Bentuk tubuh yang berubah tak seindah layaknya dulu ketika gadis. Mata panda yang sering menghias wajah yang tampak lelah. Waktu sehari selama 24 jam seolah tak memberinya kesempatan untuk istirahat. Dan terkadang suami yang merasa tersisihkan.

Apakah selesai pengorbanannya? 

Jawabannya masih belum,

Tatkala sang anak sudah mulai bisa bermain sendiri, waktunya masih tersita seluruhnya.  Menjaga,  merawat,  mendidik sepenuh hati.  Menanamkan nilai-nilai kehidupan dan budi pekerti. Hingga tahapan ini sosok malaikat tak bersayap itu telah mengorbankan sebuah mimpi yang sejak dulu dibangunnya tertatih-tatih. Melepaskan semua untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang ibu.  Madrasah ilmu pertama bagi sang anak. 

Berakhirkah pengorbanannya?

Belum,

Tatkala sang anak belajar,  segala yang ada merupakan sarana belajarnya.  Bahkan rumah yang awalnya harum dan tertata rapi berubah menjadi kapal pecah.  Sudah pecah,  dihantam badai dan angin topan.  Sosok ibu dengan sigap merapikan kembali.  Namun tak selang lima menit tatkala ia istirahat,  sang malaikat kecil mengulangi pembelajaran yang baru saja dilakukannya. 

Setelah itu apakah pengorbanannya selesai? 

Masih belum,

Tatkala mulai dewasa,  sang buah hati pun mandiri.  Pergi meninggalkannya demi alasan studi,  pekerjaan,  hingga karier.  Sesekali pulang dalam masa liburnya.  Namun waktu yang dimilikinya ternyata telah dijadwalkan dengan teman-teman lama yang tak bersua. Meminggirkan sosok Ibu yang bertahun memberikan seluruh waktu untuknya. 

Apakah perempuan itu merisaukan kembali masanya yang dulu.  Tatkala begadang semalaman menjaga ketika sakit, menantikan dengan cemas manakala sang buah hati tak kunjung mengirimkan kabar,  deraian air mata ketika kesempatan demi kesempatan yang menghampiri dilepaskan begitu saja demi sebuah senyuman kecil yang baginya adalah sebuah penerang cahaya bagi kehidupannya. Merindukan situasi ketika ruangan kotak yang disebutnya rumah itu lebih mirip disebut kapal pecah.  Riuh canda tawa yang memenuhi ruangan tatkala anggotanya masih lengkap. 

Apakah pengorbanannya telah usai? 

Dan lagi-lagi jawabnya belum,

Ketika anak itu perempuan,  ada satu masa sosok laki-laki datang dan memintanya. Sebagai penyempurna ibadah dan pelengkap tulang rusuknya yang hilang.  Tentu saja dengan airmata bahagia melepaskan dengan ikhlas. Disertai doa-doa yang selalu dipanjatkan kepada Yang Kuasa. 

Tatkala anak itu laki-laki,  iapun harus meninggalkan sang Ibu.  Membagi hidupnya dengan istri dan anaknya.  Tentu saja tanpa mengabaikan  Ibu yang telah melahirkannya. 

Ibu… 

Ibu… 

Ibu… 

Setelah bertubi-tubi pengorbanan yang kau berikan,  masih saja dalam tiap sujud yang kau lakukan selalu membisikkan nama anakmu. Menjadi sosok peminta-minta di hadapanNya demi kebahagiaan,  kesehatan,  dan keselamatan atas anaknya. 

Bagimu, 

Hidup adalah sebuah penerimaan.  Sebuah penerimaan yang ikhlas dan tentu saja harus indah. 

Bahwa hidup adalah mengerti,  sebuah pengertian yang diterima penuh kesadaran.  Tanpa paksaan dan tekanan. 

Bahwa hidup adalah memahami,  sebuah pemahaman yang tulus yang dilandasi rasa cinta dan kasih sayang.  Tanpa amarah dan dendam. 

Namun seringkali penerimaan,  pengertian,  dan pemahaman yang kau berikan tak melulu sesuatu yang indah dan membahagiakan.  Bahkan seringkali menyedihkan dan menyakitkan. 

Dan aku,  saat ini sedang belajar menjadi seorang ibu. 


Photo by Tyler Morgan on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *