Pandemi Covid 19 benar-benar merubah. Banyak karyawan dengan terpaksa dirumahkan. Biasanya divisi saya yang terdiri dari 4 orang, tinggal single fighter; yaitu tinggal saya. Hari-hari tadinya diisi kerjasama dengan divisi-divisi lainnya yang jumlah mencapai 20-30-an orang. Kini tinggal segelintir orang yang mewakili masing-masing divisi. Jumlah kami tersisa kurang lebih 15-an orang.
Waktu awal-awal pandemi, karyawan diminta datang ke kantor seminggu dua kali, yaitu di hari Senin dan Jum’at. Selain dua hari ini, kami Work From Home (WFH). Tapi kini kewajiban datang ke kantor ditiadakan sama sekali. Berubah menjadi full WFH.
Model kerja seperti WFH ini, terus terang membuat saya banyak memiliki waktu yang terasa lebih luang. Pekerjaan kantor selesai. Bahkan bukan sekadar selesai, tapi selesai juga untuk tugas-tugas berikutnya. Pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan nanti, sudah rampung dikerjakan.
Entah kenapa. Apa karena kerja lebih cepat atau pekerjaannya berkurang? Entah.
Mungkin kerjanya lebih cepat, karena tidak ada kerjaan-kerjaan tambahan. Sehingga bisa lebih fokus. Pekerjaan sepertinya tidak berkurang. Sepertinya itu. Entah.
Awalnya WFH membuat saya uring-uringan. Pasalnya tidak biasa kerja di rumah. Pengalaman selama ini sebelum ada WFH, kerja di rumah tidak disiplin. Ketika menerima kerjaan freelance, saya tidak bisa fokus dalam waktu yang lama.
Dari bayang-bayang pengalaman ini, saya jadi timbul rasa khawatir ketika pertama kali diumumkan WFH.
Minggu-minggu pertama seperti yang dikhawatirkan. Lama kelamaan WFH bisa ditaklukkan. Entah kenapa dan bagaimana.
Alhamdulillah saya bisa adaptasi dengan kondisi WFH. Atur waktu, tentukan prioritas. Selain ambil hikmah dari keadaan ini. Kerjaan kantor usai. Setelah tugas kantor rampung, dilanjutkan ke aktivitas menulis.
Sejak pertama kali pandemi datang, saya menantang diri terima tantangan menulis.
Sudah dua kali Ramadhan lewati bersama pandemi Covid. Sejak itulah saya ikuti tantangan menulis.
Ramadhan waktu pandemi pertama kali itu, ikuti dua tantangan sekaligus. Satu tantangan adalah menulis tiap hari selama 30 hari dengan tema tertentu. Sementara tantangan yang satunya, menulis tanpa penentuan tema. Ini juga selama 30 hari.
Biasanya usai mengikuti satu tantangan, bersambung ke tantangan menulis lainnya. Tidak dapat apa-apa sebenarnya. Hanya memperoleh sertifikat. Tidak mengapa. Karena senior saya dalam menulis, Mas Asa Mulchias mengatakan bahwa untuk bisa menulis, ya harus menulis setiap hari. Ada atau tidak ada ide, harus menulis setiap hari.
Senior lain, mas Gegge Mappangewa menceritakan pengalamannya ketika dia untuk beberapa saat berhenti menulis. Saat mau memulainya lagi, seperti orang yang baru belajar menulis.
Oleh karenanya tantangan menulis, saya ikuti terus dan posting di instagram tiap hari. Tantangan menulis terus dijalani. Hingga kini sudah 14-an tantangan menulis yang saya ikuti.
Saya tidak peduli, apakah tulisan-tulisan para peserta akan dibukukan menjadi buku antologi atau tidak. Yang penting saya menulis tiap hari. Karena menulis adalah sebuah skill, keahlian yang tidak bisa digantikan oleh robot. Menulis adalah aktivitas yang melibatkan pola pikir, perasaan, mengolah informasi, pengalaman jadi satu. Aktivitas ini tidak bisa dilakukan oleh robot.
Senior menulis lainnya, Kang Taufan E. Prast sedikit menyentil dengan kata-katanya terkait dengan aktivitas ini. Menyentil yang membangun. Menyentil yang membuat saya coba merenung. Dia mengatakan bahwa saya sudah bukan waktunya lagi untuk ikuti tantangan-tantangan menulis seperti itu. Sudah waktunya untuk berkarya lebih nyata. Buat buku solo salah satunya. Walau demikian dia -alhamdulillah- memuji dengan kekonsistenan saya dalam menulis.
Moga manfaat.
Photo by NeONBRAND on Unsplash