Meniti Pandemi

Oleh: Siti Atikah (Atik)

“Mba…. Bapaknya Ocha rupanya meninggal kemarin, kritis setelah bolak-balik cuci darah dan dalam kondisi positif Covid,” ungkap adikku kemarin sore saat kubaru saja selesai IG live bersama teman-teman penulis buku antologi It’s Me yang kugarap 2 tahun yang lalu. 

Yaa Allah… Dalam sebulan terakhir, ini adalah kabar duka ketujuh tentang keluarga dari inner circle saya dan adik. Hanya satu di antara ketujuhnya meninggal tanpa faktor virus yang memporak-porandakan tatanan hidup manusia sejak awal 2020 lalu. Niscayanya, kematian akan datang pada setiap yang hidup di muka bumi ini. Namun, saya bisa membayangkan betapa sedih dan hancurnya ketika kepergian orang-orang terkasih berkaitan dengan virus tersebut. Pasalnya, keluarga yang ditinggalkan tak bisa mengurus jenasahnya sebagaimana kondisi normal. Harus mengikuti protokoler darurat Covid-19. Bagi umat Islam, keluarganya tak bisa memandikan, mengkafani, dan menyolatkan secara langsung. Pengantaran ke liang kubur pun hanya bisa dilakukan dengan jarak yang cukup jauh. Sungguh, saya bisa ikut merasakan kepedihan itu karena saya pun hampir ada di posisi mereka. Namun, Allah masih memberikan kesempatan bagi saya dan keluarga untuk tetap merasakan nikmat kebersamaan dengan keluarga dariNya.

10 Juni 2021 lalu, Buya, ayah saya divonis terpapar Covid-19 pasca tes PCR yang menjadi syarat operasi tulang bahu tangan Buya yang copot dan patah karena terjatuh di masjid pada malam 9 Juni 2021. Karena hasil tersebut, maka Buya harus dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki ruang operasi dengan kasus Covid-19. Saat itu, jujur, saya nyaris menyerah dengan keadaan. Namun, untunglah saya masih sadar dan tak putus berdoa untuk diberikan kemudahan. Hingga akhirnya hanya dalam hitungan jam, Buya dapat dirujuk ke rumah sakit lain. Setelah urusan registrasi, Buya masuk ke ruang isolasi dengan level gejala ringan. Ya, Alhamdulillah saat divonis tersebut, Buya termasuk OTG (Orang Tanpa Gejala). Jadi, yang membuatnya kesakitan justru adalah kondisi tangannya yang patah tersebut meskipun yang menjadi kekhawatiran saya saat itu adalah kondisi tekanan darah dan kadar gulanya yang sangat tinggi. Saya hanya bisa berdoa dan berpasrah saat itu.

Dengan kondisi Buya yang positif, maka ibu, adik, dan kedua putra saya harus menjalankan isolasi mandiri di rumah sambil menunggu jadwal PCR dari Puskesmas. Allah Maha Baik. Di saat saya yang kebingungan harus standby di mana karena hanya saya satu-satunya yang menjadi penanggung jawab Buya saat itu, akhirnya diterima dengan tangan terbuka oleh keluarga tante saya yang rumahnya hanya 15 menit dari rumah sakit. Saya bisa beristirahat dengan baik di kamar depan yang dilengkapi dapur dan kamar mandi kecil yang terpisah dari rumah utama. Tante dan keluarga sangat tulus mengurus kebutuhan saya selama di sana meskipun setiap hari saya tetap harus bolak-balik ke rumah sakit demi mengantarkan kebutuhan dan memantau kondisi Buya selama di ruang isolasi. Alhamdulillah kondisi saya sangat prima kala itu karena dukungan yang luar biasa dari keluarga, kerabat, dan sahabat. Bantuan dari banyak pihak pun mengalir bagi keluarga saya yang sedang isolasi mandiri hingga hasil PCR dari Puskesmas dinyatakan negatif setelah 16 hari di rumah saja. Maka, nikmat Allah manakah yang dapat kamu dustakan. (Q.S. Ar-Rahman)

Lagi-lagi Allah Maha Baik. Hanya tiga hari di ruang isolasi, Buya dinyatakan negatif Covid-19 berdasarkan PCR ke-2 dan ke-3. Kok bisa? Walllahu ‘alam. Kadar gula darah, tensi, jantung, lever, dan paru-paru semua normal setelah dilakukan general checkup untuk prosedur operasi tulang bahunya. Maka, pada 14 Juni 2021 pukul 22.00 WIB Buya menjalani operasinya dengan lancar yang berlangsung selama dua jam. Kemudian Buya masuk ke ruang perawatan biasa dan diizinkan pulang untuk rawat jalan pada hari ke-3 hingga hari ini. Alhamdulillah dokter yang menangani Buya juga sangat informatif dan dapat dihubungi via WhastsApp untuk konsultasi sehingga saya merasa tenang membawa Buya untuk rawat jalan di rumah. Meskipun Buya terbilang rewel selama masa pemulihan, namun saya dan keluarga bersyukur bahwa Allah masih memberikan kesempatan kami berkumpul bersama, hingga saya mengetikkan tulisan ini.

Oleh karenanya, sungguh saya turut berduka mendengar kepergian anggota keluarga dari beberapa inner circle akibat Covid-19 pasca Buya sudah bisa keluar dari rumah sakit. Lonjakan kasus Covid-19 justru merebak sejak itu. Beberapa tetangga, kerabat, dan rekan kerja pun dikabarkan terpapar virus tersebut. Seakan tumbang bergantian. Rumah sakit penuh dan tenaga kesehatan kewalahan menangani pasien yang seakan tak henti berdatangan. Hingga beberapa dari inner circle saya harus kehilangan anggota keluarganya dalam keadaan positif Covid-19 saat isolasi mandiri, namun proses penguburan tetap harus berdasarkan protokol Covid-19. Betapa menyesakkan dada….

Mulai dari tetangga yang hanya beda 1 RT dengan saya. Beliau meninggal di rumah dengan hanya dibantu tabung oksigen hasil swadaya masyarakat karena asmanya kambuh. Beberapa hari sebelum meninggal, beliau sempat dibawa ke rumah sakit, namun kembali pulang karena tidak ada lagi ruang perawatan yang sesuai dengan jaminan BPJSnya kecuali keluarga bersedia membayar dengan dana pribadi. Miris….

Kemudian kabar lain muncul dari teman yang pernah satu kosan dengan saya, namun kami masih berkomunikasi via WhatsApp grup. Ayahnya yang memang sudah lama sakit, tiba-tiba kondisinya drop dan hasil PCR positif, lalu tak lama meninggal. Selang seminggu kemudian, kakaknya, yang juga memiliki kondisi kesehatan yang sering kambuh, terutama lambungnya, pun menyusul menghadap Sang Khalik dengah hasil PCR positiff. Hal serupa juga dialami oleh salah satu sahabat adik saya. Ia kehilangan ayah dan ibunya hanya berselang satu hari dalam kondisi sedang isolasi mandiri bertiga di rumah. Ke rumah sakit bisa terhitung seperti hanya mengantarkan nyawa. Yaa Allah…. Sungguh berat sekali kehilangan dua anggota keluarga dalam waktu yang berdekatan, bahkan tanpa bisa mengurus jenazahnya…. 

Lalu beberapa hari lalu selepas salat Subuh, pesan WhatsApp yang masuk di grup sekolah seakan tak percaya kumembacanya. Suami sahabat sekaligus rekan kerjaku, meninggal dalam kondisi isolasi mandiri pula karena beberapa hari sebelumnya demam dan lemas, hanya berdua dengannya. Yaa Allah…. Hati ini teriris rasanya saat kutelepon ia hanya berkata, “Bu…. Saya nyesel nggak maksa Mas ke rumah sakit dari kemarinan. Saya bingung, Bu…. Saya sendirian….” 

Ya, saat saya telepon itu, ia benar-benar sendiri di kontrakannya karena pihak rumah sakit memintanya pulang untuk lanjut isolasi mandiri dan melakukan PCR karena terhitung sebagai kontak langsung. Akhirnya, jenazah suaminya diurus oleh iparnya hingga proses penguburan dengan protokol Covid-19. Ia bahkan tak bisa mengiringi suaminya ke liang kubur. Pernikahan mereka baru menginjak 2 tahun bulan Juni kemarin. Saya dapat membayangkan betapa hancur hatinya kehilangan suami tercinta, pengayom hidupnya.

Jika sahabat saya kehilangan suaminya, maka salah satu Om saya pun kehilangan istrinya yang menghadap Allah SWT 3 minggu yang lalu saat sedang jadwal rutin cuci darah. Almarhumah adalah sepupu sekaligus teman baik kedua orangtua saya. Meskipun hasil PCR Almarhumah negatif, namun karena kondisi ayah saya yang sedang pemulihan pasca operasi dan kami masih tersisa 2 hari isolasi mandiri, ahirnya kami tidak dapat takziah ke sana. Demi kebaikan bersama.

Mendengar kabar duka yang datang silih berganti, tiba-tiba muncul pikiran di benak saya, bagaimanakah proses mereka ketika ajal menjelang? Apakah mudah, sulit, apa yang dilihat, apa yang dirasakan, apa yang diucapkan?

Tadi pagi saya membaca share postingan yang isinya (entah benar atau tidak, ya) curhatan seorang dokter yang menangani banyak pasien hingga melihat berbagai akhir hidup seseorang. Ada yang di saat terakhirnya yang diucapkan adalah uang saya… uang saya! Ada yang minta lagu kidung Sunda dan menari-nari. Ada yang tersiksa tidak bisa pergi karena ada susuk di tubuhnya. Ada juga yang mudah sekali menghembuskan nafas terakhirnya, tanpa drama, bahkan melafazkan nama Allah. Beragam, barangkali memang sesuai dengan amal ibadah masing-masing individu semasa hidupnya. Wallahu ‘alam….

Maka, mengingat kematian dan proses akhir hidup itu adalah rahasia Allah, yang kini saya bisa lakukan adalah terus berbenah diri, menjalankan ibadah padaNya secara rutin, dan terus berusaha berbuat baik sesama manusia. Karena masing-masing kita tidak akan pernah tahu dengan cara apa, di mana, dan kapan waktu kita akan berakhir. Karena saat-saat sakaratul maut itu godaan setan sangatlah besar. Ia menggoda manusia agar lepas dari beriman kepada Allah. Na’udzubillahi min dzaalik. 

Apapun penyebab kematian kita suatu hari nanti, terpapar Covid-19 ataupun tidak, harap saya semoga Allah tetapkan iman di hati saya dan para muslim lainnya. Semoga Allah kembalikan kita dalam keadaan husnul khatimah, menyebut nama-Nya. Insyaa Allah.

11 Juli 2021

Hari ke-6, Lock Down Writing Challenge, Books4care, Kinaraya.com

#atikberbagikisah

IG : atikcantik07


Photo by Markus Spiske on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *