Menimang Rindu

Oleh: Sri Rita Astuti

Tak pernah terbayangkan bahwa kita akan terpisahkan oleh jarak dan waktu. Sebelumnya kupikir hal itu bukanlah suatu masalah. Toh banyak pasangan pasangan lain yang menjalani hubungan dengan saling terpisahkan jarak dan rumah tangga  mereka baik baik saja. Aaiisshh … ternyata kenyataannya tak semudah dalam bayanganku.

Sebelum dirimu menghalalkanku aku telah tahu dan paham seperti apa pekerjaanmu. Bahkan kita pun sering berulang bulan baru bisa bertatap muka. Walau kadang didera rasa rindu tapi semua masih bisa kulewati. Tapi entah kenapa setelah aku halal bagimu perpisahan itu terasa begitu berat. Jarak yang terbentang antara kita begitu jauh. Terjeda waktu yang tak sebentar. Di pelukan lebatnya hutan tanah Borneo ragamu tak lagi dapat kusentuh. Lebatnya pepohonan menyembunyikan dirimu dari netraku. Bukan hanya ragamu yang tak lagi tersentuh, suaramu pun tak lagi dapat kudengar.

Cintaku, andai engkau tahu betapa rasa rindu ini menyiksaku. Membuat hari tak lagi biru. Yang ada hanya warna kelabu. Aku rindu senyummu yang selalu menenangkanku, aku rindu dekapan hangatmu yang mampu mengurai resahku , rindu candamu membujuk rajukku. Begitu banyak hal darimu yang membuat aku tak rela kau jauh. Andai saja di sini aku tak terikat kewajiban, akan kuiringi kemanapun langkahmu berjalan cinta.

Kadang tingkah konyolku timbul merutuki sinyal yang tak sampai di lokasi tempatmu bekerja. Sehingga gawai yang harusnya sebagai sarana untuk kita berkomunikasi pun tak berguna. Akhirnya ku hanya bisa memandangi gambarmu yang banyak terekam di gawaiku sebagai pengobat rindu. Berbicara seolah dirimu ada di hadapanku cinta.  Sering hadir keinginan untuk nekat menyambangi dirimu di pedalaman kota Sandai sana. 

“Aku pasti bisa, toh jarak pontianak – Singkawang bisa kulewati dengan bermotor,” sering hatiku berkata begitu

Tapi bila mengingat ceritamu tentang perjalanan yang memakan waktu lima  sampai enam jam dengan melewati jalan kecil yang jarang ditempuh kendaraan. Belum lagi berkilo kilo meter daerah sepi yang hanya terdiri dari barisan pepohonan hutan dan kebun membuat nyaliku ciut.

Ah, suamiku sayang, aku takut bila tiba tiba motorku mogok di jalan ataupun ban motorku pecah, bagaimana aku melewatinya?   siapa yang akan membantuku bila rumah rumah penduduk pun jarang ditemui di sepanjang jalan. Aku takut Cinta, bila yang kutemui nanti malahan begal ataupun mungkin macan yang keluar dari hutan. Bisa bisa aku tak akan pernah sampai ke kota Sandai. Kota yang asing bagiku.

Belum lagi setelah sampai di Sandai aku masih harus menempuh jarak dua jam menembus hutan belantara untuk bisa sampai ke lokasi dirimu berada. Yang menurut tuturmu apabila hujan jalannya bisa jadi arena off road , licin dan berlumpur dengan tanah merah yang licak. Ditambah lagi bayangan hewan hewan hutan menggangguku di perjalanan monyet, ular dan kawan kawannya. Aku takut tapi aku begitu ingin ke tempatmu. Menemuimu, memandang wajahmu, berada dalam dekapanmu. Rindu ini kian purba, menimangku dalam kidung asmaradana yang tak berujung.

Andai saja cerita tentang pintu Doraemon itu benar adanya, aku rela menyewa atau bahkan membelinya. Agar aku tak perlu bersusah payah menempuh jarak yang teramat jauh untuk menemuimu kekasih. Hanya dengan membuka pintunya maka dirimu akan kutemui di balik pintu. Menuntaskan semua rasa rindu pada sosokmu yang seakan menjadi candu.

Sayangnya semua hanya khayalan. Dan rinduku padamu masih saja mengharu biru. Tak berkesudahan. Cinta, dua purnama sudah dirimu terpisah jauh dari ragaku. Kasih cepatlah kembali.

Aku masih setia menimang rindu di sini.

Sungai Raya, 11072021


Photo by Toa Heftiba on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *