Oleh: Denik
Mengacungkan jari telunjuk ke depan dan ditujukan untuk seseorang merupakan suatu hal yang paling mudah dilakukan. Tanpa berpikir bahwa lima jari lainnya menunjuk ke diri sendiri. Sehingga dengan entengnya seseorang menghakimi orang lain.
Orang lain tersebut bisa keluarga sendiri atau orang lain. Yang tanpa disadari bisa membuat orang yang dihakimi tersebut merasa tersakiti. Hal inilah yang menjadi renungan dan introspeksi diri saya.
Berawal dari curahan hati saudara sepupu yang merasa sakit hati atas perkataan kakaknya. Si sepupu yang baru saja terkena PHK diceramahi oleh si kakak panjang kali lebar. Hanya karena ia tidak mau menerima tawaran pekerjaan dari salah satu kerabat dekat.
Si sepupu tidak mau menerima tawaran tersebut karena kerabat yang menawari pekerjaan pernah melecehkan dirinya. Ia tidak menceritakan hal tersebut demi menjaga nama baik kedua keluarga. Cara terbaik baginya adalah menghindar dari si kerabat tersebut.
“Coba bayangkan Den. Masa aku harus kerja dengan orang yang jelas-jelas melecehkan aku. Dia menawarkan pekerjaan biar bisa mendekati aku. Bisa habis aku kalau menerima pekerjaan darinya.”
“Ya, kamu ceritakan saja pada kakakmu, alasan sebenarnya kamu menolak tawaran pekerjaan darinya.”
“Enggak ah. Lagipula mana dia percaya. Yang ada aku dituduh menggoda duluan. Kamu tahu sendiri kan bagaimana perilaku tuh orang. Kalem, enggak banyak omong, rajin ibadah pula. Enggak tahu aja kelakuannya tak senonoh.”
“Terus bagaimana? Kakakmu akan terus menuduh kamu malas kerja lagi. Pilih-pilih kerjaan. Enggak tahu diuntung.”
“Biar sajalah. Walau sebenarnya aku sakit hati. Biarlah hanya aku, kamu dan Tuhan yang tahu kenapa aku bersikap seperti ini.”
Aku menghela nafas panjang. Bingung juga ya? Mau membantu menyelesaikan masalah tersebut tapi tak semudah itu. Terlalu riweh. Apalagi orang yang bersangkutan tak ingin menjelaskan duduk permasalahannya. Ia lebih memilih diam dan memendam sakit hati.
Dari kejadian tersebut aku mulai berpikir ke diri sendiri. Untuk tidak mudah menghakimi orang. Artinya tidak asal menuduh atau mengambil kesimpulan sendiri atas suatu kejadian yang tak sesuai kata hati.
Baik itu terhadap orang lain atau keluarga sendiri. Aku mesti belajar tenang. Belajar memahami sebuah alasan yang dikemukakan tanpa ada prasangka lain, sebelum mengetahui alasan pastinya. Sebab tak dipungkiri, kita kerap dengan mudahnya melontarkan kata-kata tak menyenangkan ketika apa yang kita utarakan mendapatkan pertentangan. Alias tidak disetujui. Padahal kita merasa benar atas keputusan yang diambil.
Tidak mudah untuk menjadi bijak dalam melihat sebuah permasalahan. Namun tak ada yang tak mungkin. Meski harus melalui proses dan introspeksi diri yang tidak instan. Jadi berkaca dari permasalahan orang lain, curahan hati orang lain.
Kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran. Bahwa dihakimi itu tidak enak. Apalagi kalau tidak bersalah. Oleh karenanya jangan mudah menghakimi juga. Sebab sebaik-baik hakim adalah mereka yang mampu adil dalam perkataan dan perbuatan. Inilah yang sedang aku jalani di masa kini, bisa lebih bijak dalam menyikapi segala permasalahan.
(EP)
Photo by Slim Emcee on Unsplash
Benar banget, kita harus mawas diri. Kebiasaan menganggap orang lain salah adalah penyakit yang berbahaya. Harus dihindari sekecil apapun.