Tertunduk, terpaku dan membisu dalam hening malam itu sesaat setelah hatinya hancur kembali ketika lontaran amarah Raka diterima oleh Riri.
“Mulai saat ini kita selesai, ya!”
“Hei apa maksud kata-katamu, Raka?”
“Apa yang harus diselesaikan?” Riri mencoba menanyakan maksud kata-kata Raka.
“Ya..tidak ada lagi mainan perasaan di antara kita!”
“Hei.. Raka sebegitu marahnya kamu ketika aku mencoba menasihatimu dengan kebaikan? Padahal kamu pun senang menasihatiku untu tetap dalam kebaikan?” protes Riri mencoba melawan sikap Raka yang baginya sangat aneh kala itu.
Riri kemudian pergi meninggalkan perisitwa yang mencabik-cabik hatinya. Tidak pernah diduga Raka yang dikenalnya lembut dan santai menyikapi sesuatu dapat menjadi marah besar hanya karena kepeduliannya. Bagi Riri, sahabatnya itu harus terlindungi dari berbagai hal yang akan merusak citra dan kharismanya. Riri tidak ingin Raka terus hanyut dalam kebiasaan buruk yang tidak pernah terungkap itu. Hanya kepada Riri saja Raka selalu menceritakan segala keburukannya dan Riri tidak terrganggu dengan itu semua. Riri telah nyaman menjadi tempat cerita Raka dan baginya sahabatnya itu tidak layak untuk terus menikmati petualangannya yang selalu beruntung itu.
Riri begitu kecewa menerima perlakuan Raka. Riri merasa akan kehilangan lagi sayapnya. Sayap yang telah dapat membuat hari-hari nya menjadi bersemangat. Riri menyadari dia telah menyukai Raka meskipun tidak akan bisa memilikinya secara utuh sehingga dengan berbagai cerita dan waktu yang kerap dihadirkan Raka untuknya telah membuatnya sangat bersyukur. Riri hanya bisa mengadu kepada Tuhannya. Tubuhnya lunglai namun jari jemarinya tidak berhenti menuliskan kata-kata untuk Tuhannya.
Allahu Rabbi…
Aku sungguh masih lemah kepada-Mu
Lemah dalam ketaatan kepada-Mu
Aku masih belum sabar…
Tidak kuat menahan gejolak perasaanku sendiri….
Aku tahu Engkau mengujiku tapi ternyata aku belum lulus melalui itu…
Namun aku masih mencintai-Mu, ya Rabb… sebagaimana bisikan hatiku masih mencintainya.
Aku masih gelisah meminta dan berharap agar engkau melabuhkan perasaanku pada ikatan yang engkau ridhoi lalu meringankan jalan pertaubatanku dalam hari-hari ersamanya mencapai surga.
Rabb…
Aku tau aku salah tapi mengapa begitu sulit dan tak kuasa menghalang rasa?
Mengapa kau hadirkan dia jika ternyata bukan untuk menjadi takdirku? Aku lemah ya Rabb… seharusnya jangan kau uji aku dengan cara seperti ini…. Ighfirlii, ampuni aku…
Bisakah ku berharap lagi? Tolonglah perasaan yang hadir ini… aku mencintainya sebagaimana aku bisa merasakan juga rasanya.
Bagiku dia orang baik namun kami sama-sama lemah soal rasa. Tidak ada niatku menyakitinya dan kurasa dia pun sama. Tidak ada niatku untuk mempermainkannya dan kuyakin dia pun sama. Tidak ada niatku untuk menjadi sia-sia bersamanya dan semoga dia pun begitu adanya.
Pepatah bilang cinta itu buta sepertinya benarlah adanya…
Aku seolah tak peduli rumit berat halang rintang yang membentang…
Godaan rasa terlalu kuat untuk diterjang…
Rasa ini datang dan berbalas dalam iringan waktu yg berjalan.
Hanya kepadanya… bukan yang lain….
Hanya untuknya… tidak bisa untuk yang lain…
Lagi lagi aku meminta agar engkau mempercayai setelah kembali aku khianati
Entahlah apa engkau akan kembali mempercayai?
Sungguh aku berharap jalan ketenangan masih akan kau berikan padaku, ya Rabb…
Sungguh aku masih mencintai-Mu dan ingin menjaga ketaatan kepada-Mu bersamanya.
Sungguh aku berharap takdir-Mu sesuai keinginanku.
Allah… luaskanlah ampunan-Mu untukku yang lemah ini….
Lalu seketika keyboard laptopnya basah berlinang air mata… air mata kelemahan Riri yang mencintai hamba-Nya secara berlebihan. Kini Tuhanpun menegurnya dan mengambil kecintaannya kembali.
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash