Suara ribut-ribut di luar membuatku terbangun dari lelap. Kepalaku tegak, begitu juga telingaku. Suara-suara yang tak asing lagi untukku terdengar dalam nada tinggi. Entah apa yang mereka permasalahkan, aku tidak mengerti. Hampir saja kepalaku rebah lagi di kasur, satu suara mengusikku.
“Maaf, Pak. Aku janji nggak akan ulangi lagi.”
Itu Elki! Ada apa dengannya? Kenapa suaranya terdengar sedih?
Pintu kamar terbuka, memunculkan sosok Elki di hadapanku. Dia selalu cantik meski wajahnya hanya dihiasi make up tipis. Sambil meletakkan tasnya di atas meja, dia berjalan mengampiriku. Senyumnya manis, seakan tak pernah terjadi apapun di luar sana. Aku tahu dia sedang berpura-pura.
“Baru bangun?” tanyanya, sambil mengecup kepalaku yang rebah di pangkuannya.
Aku menjawab sindiran manis itu dengan geliat. Entah berapa jam aku tertidur. Tubuhku benar-benar pegal sekarang. Elki pasti menyangka aku tidur seharian. Dia berangkat kerja saat aku masih tidur, kemudian pulang saat aku baru membuka mata. Hei, tidak selama itu juga aku tidur. Tadi, aku sudah bangun, lalu tidur lagi karena bosan.
“Lapar?”
Aku ingin menggeleng. Perutku tidak terlalu lapar karena Elki selalu menyiapkan camilan untuk menemaniku selama dia bekerja. Namun, aku tak dapat mengelak saat aroma tongkol pedas dari nasi bungkus yang dibuka Elki menggodaku. Aku mendekatinya.
Kami makan dalam diam. Satu porsi nasi yang dia beli di warteg dibagi dua: untukku dan untuknya. Porsi ini sebenarnya hanya cukup untuk mengganjal perut, bukan untuk mengenyangkan. Aku sering mendengar jerit lapar perut Elki selepas tengah malam.
“Aiden?” panggilnya, di tengah-tengah kunyahan.
Aku menoleh, tertegun menatap matanya. Ada lapisan bening di sana yang siap luruh. Ada apa? Apa yang Elki pikirkan?
“Janji ya, kita terus sama-sama selamanya.”
Sudah dua minggu ini Elki selalu pergi ke luar usai kami makan malam. Lewat tengah malam ia baru kembali dengan wajah letih. Apa yang dia kerjakan? Lidahku selalu kelu, tak sampai hati untuk menanyakan itu. Aku selalu berusaha menyambutnya pulang, sekadar menghapus letihnya.
“Usir aja! Bisa datengin bala buat kita!”
Hei, suara itu lagi!
“Kerja nggak bener ‘kan, lo?!”
Siapa yang mereka tanya? Apa Elki?
“Sumpah, nggak, Mbak! Saya nggak kayak gitu.”
Elki! Apa yang terjadi dengannya?
Suara ribut-ribut itu menghilang seiring pintu kamarku yang terbuka. Dia tersenyum padaku saat melihatku berdiri di dekat pintu. Dia pikir aku tidak tahu keributan yang terjadi di depan pintu kost di tengah malam? Jangankan aku, mungkin tetangga juga tahu. Aku berusaha bersikap biasa meski ribuan pertanyaan menyelimuti benakku.
Jika benar Elki bekerja lagi di malam hari, maka aku benar-benar merasa bersalah padanya. Selama ini, tak ada yang bisa aku lakukan selain menumpang hidup padanya. Makan, kost, semua dia yang bayar. Bahkan, saat aku sakit, Elki membawaku berobat tanpa pernah mempertimbangkan biayanya. Harusnya saat ini aku yang terdepan membelanya.
“Nggak apa, Den. Aku nggak apa.” Elki mengecup keningku.
Kamu kenapa-napa, Ki! Matamu basah! jeritku dalam hati.
Jemari Elki memijit lembut punggungku. Kantukku yang semula hilang karena keributan di depan kamar kembali lagi. Senandung lagu tidur dari bibir Elki membuat mataku semakin berat. Aku berangkat ke alam mimpi.
Semalam, aku terbangun saat isakan Elki singgah di telingaku. Aku membuka mata dan kembali menjumpai senyumnya. Tatapannya seakan berkata kalau semua baik-baik saja. Ini tak baik-baik saja! Aku tidak pernah melihat Elki menangis seperti ini sebelumnya!
“Maafin aku, kayaknya kita harus pindah dari sini.”
Aku menatapnya yang tengah memasukkan pakaian ke dalam tas. Hatiku nyeri. Bahkan di saat seperti ini aku tak sanggup berbuat apapun untuknya. Dia sudah berbuat banyak untukku, dia yang menyelamatkanku setahun lalu. Harusnya aku berbuat sesuatu!
Elki bercerita kalau selama ini dia bekerja di tenda seafood milik Mpok Salma. Tenda itu buka hanya di malam hari. Pengunjungnya sangat banyak hingga karyawan Mpok Salma kewalahan. Namun, penghuni kost lainnya menuduhnya buruk. Beberapa malam ini mereka selalu menunggu Elki pulang untuk mempermasalahkan.
Bukan cuma Elki, tapi juga aku. Air mata Elki mengalir deras saat menceritakan tuduhan orang-orang padaku. Bunga milik Mbak Kanti rusak, Mbak Rosi kehilangan ayam goreng, tumpukan kotoran di samping kamar Mbak Ratna, semua dialamatkan padaku.
Elki menangis. Aku juga. Hanya, air mataku tersimpan jauh di hati. Elki membelaku di depan orang-orang. Dia tahu, mustahil aku melakukan semua tuduhan itu. Aku memang nakal, tapi itu sebelum Elki mengurungku di kamar.
“Tumben udah bangun,” goda Elki, yang baru masuk kamar.
Aroma harum meruap di kamar sempit ini. Elki meletakkan ember di sudut kamar, kemudian menghampiriku dengan sebungkus nasi yang dia bawa semalam. Aku memperhatikannya membagi nasi itu menjadi dua porsi. Hampir saja suapan pertama masuk ke mulut, keributan serta gedoran kasar dari luar terdengar lagi.
“Pergi lo! Gue nggak mau kost kita kena bala karena kelakuan lo!”
“Keluar lo, Ki! Atau gue bakar si Oyen!”
Aku melempar tatapan pada Elki. Dia hanya mengangguk, kemudian mengusap kepalaku. Nasi yang sudah dibagi dua dia bungkus lagi. Usai memakai tas gemblok, dia menggendongku dengan gendongan bayi. Di tangan kanannya kini ada tas besar berisi pakaian, sementara tangan kirinya menenteng wood pelet.
“Aiden berat sekarang!” Elki terkekeh. Kecupannya singgah di kepalaku. “Ingat janji kita, kan?”
“Meow!”
Photo by Diana Parkhouse on Unsplash