Oleh: Dwina
Sejak subuh, rasa nyeri akibat kontraksi datang dan hilang dengan cepat membuat jantungku berpacu menahan sakit. Waktu berjalan terasa lambat, menyakitkan. Matahari merangkak naik dan kembali turun ke arah barat. Sejak subuh, aku terus mengalami kontraksi setiap setengah jam sekali. Makin siang dan sore, frekuensi kontraksi bertambah menjadi setiap lima menit. Ibu tahu aku akan segera melahirkan, ia menghampiri suamiku untuk meberitahunya.
“Le, istrimu itu mau melahirkan.”
“Inggih, buk. Sebentar lagi.”
Ibu yang merasa sudah memberi tahu akhirnya diam saja. Setiap kontraksi datang, aku menggeliat, mendesis menahan sakit. Dalam hati sebenarnya aku ragu. Benarkah aku sudah akan melahirkan?
Setiap kali ibu datang sambang ke rumahku, pasti beliau yang masak. Rasa masakan beliau memanglah yang terbaik. Sepanjang hari, entah sudah berapa kali ibu memasak untukku. Tak henti-hentinya aku makan untuk menutupi rasa sakitku. Aku merasa beruntung karena dengan banyak makan, maka cukuplah energi untuk mengantarkan anakku lahir ke dunia.
Menurut hitungan dokter kandungan yang memantau kehamilanku, memang pekan ini aku akan melahirkan. Rumah ibuku sebenarnya cukup jauh dari rumahku, sekitar tiga jam naik bus. Beliau sudah beberapa hari datang dan menginap di rumahku, menungguku melahirkan anakku. Sekali lagi, ibuku mengingatkan suamiku.
“Le, ayo segera antarkan istrimu ke rumah sakit bersalin!”
“Inggih, bu. sebentar menunggu matahari terbenam.”
“Lho, kok menunggu malam? Nanti keburu melahirkan di rumah bagaimana?”
“Tidak, bu… tidak apa-apa.”
Sambil melihat diriku, suamiku berkata, “Melahirkannya nanti malam saja ya, Jeng. Neptu anak kita biar lebih tinggi.”
Suamiku dan masyarakat Jawa masih sangat menghormati tradisi neptu atau weton atau hari lahir. Menurut hitungan buku primbon Jawa, Sabtu Pahing memiliki jumlah neptu paling tinggi dibandingkan dengan hari lain, yakni 18. Hari Sabtu memiliki nilai neptu 9 dan hari pasaran Pahing punya nilai neptu 9. Proklamator Negara Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah contoh sosok orang besar yang lahir pada hari Sabtu Pahing.
Dari raut muka ibuku, beliau terlihat tidak setuju. Apa bisa melahirkan disuruh nunggu? Bukankah ini aneh, istrinya kesakitan justru disuruh menahan demi tingginya angka hitungan Jawa.
Kekhawatiran terlihat jelas, tergambar dari raut wajah beliau. Pendapatnya tertahan, merasa ini sudah bukan kuasanya untuk ikut campur. Beliau cuma mondar-mandir dengan gelisah, memikirkan mengapa tidak segera dibawa ke rumah sakit bersalin.
Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Kontraksi yang aku rasakan makin kuat, menandakan sudah semakin dekat jaraknya untuk melahirkan. Lima menit sakit yang teramat sangat, lalu berangsur hilang. Namun hilangnya rasa itu tidak lama, tetapi muncul lagi dan berulang-ulang. Aku sudah tidak tahan. Ibuku yang gemas dengan keadaanku saat ini berusaha dengan selalu mengingatkan suamiku untuk segera berangkat ke rumah sakit.
Suamiku dan akupun bersiap-siap. Vespa biru dia nyalakan dan akupun diboncengnya dengan meringis-ringis masih menahan kesakitan yang luar biasa. Setengah jam perjalanan kami menuju rumah bersalin. Aku segera menemui resepsionis tanpa menunggu suamiku memarkirkan vespanya.
“Mbak, perut saya sakit sekali. Sepertinya mau melahirkan.”
“Oh, iya bu, tunggu sebentar.”
Dengan sigap suster tersebut mengambil kereta dorong. Aku disuruh duduk dan diantarkan ke ruang periksa. Kulihat suster menelepon. Sepuluh menit kemudian, datanglah dokter yang akan memeriksaku. Kata dokter sudah pembukaan delapan. Kalau terlambat sedikit lagi bisa melahirkan di rumah. Bahaya tanpa perlengkapan yang cukup. Lalu beliau menginstruksikan suster untuk menyiapkan ruangan dan peralatan bersalin.
Suster yang lain mendorong tempat tidurku ke ruang bersalin. Aku tanya ke suster apa melihat suamiku. Aku takut sekali. Bayangan aneh-aneh muncul. Aku takut mati. Aku takut bayiku lahir cacat. Aku takut bayiku tidak selamat. Suster datang memeriksa tekanan darahku.
“Ibu, tekanan darah Ibu tinggi sekali!”
“Apa itu bahaya, Sus?”
“Iya, Bu.”
Menahan rasa sakit yang tiada tara, digabung dengan kekhawatiran yang berlebihan membuat tekanan darahku menjadi lebih tinggi. Dokter dan asistennya serta lima perawat siap sedia membantu proses bersalin. Dokter yang menerima laporan bahwa tensiku tinggi, menanyaiku,
“Apa Ibu mau bersalin didampingi suami?”
“Iya, Dok.”
“Sus, panggilkan Bapak, mungkin menunggu di luar,” kata dokter.
Tak lama kemudian, aku melihat suamiku datang. Dia bicara sebentar dengan dokter dan diizinkan untuk mendampingiku bersalin. Dia menggenggam tanganku. Mengelus kepalaku dengan lembut dan membisikkan semua akan baik-baik saja.
Aku melihat raut wajahnya yang khawatir. Sorot matanya yang sayu membuatku sedikit tenang. Aku tak berhenti menatapnya, bahkan berkedip pun aku ketakutan. Serasa maut sudah mau menjemputku.
“Mas, aku takut.”
“Tidak apa-apa. Ucapkan basmalah. Ajeng dan anak kita akan baik-baik saja,” hiburnya.
Terlalu banyak rasa takutku sehingga aku cuma bisa mendesis, meringis karena menahan sakit yang teramat sangat. Mataku terpejam tatkala rasa menghujam, perih, nyeri, panas benar-benar tak tertahankan jadi satu melandaku. Dengan sentakan kuat, aku segera membuka mata lagi untuk memastikan suamiku masih bersamaku.
Terlihat suster menaruh kereta dorong yang berisi alat-alat tajam seperti pisau bedah, gunting, pinset dan lain-lain tepat disebelahku. Dokter mendatangiku dan memeriksa. Beliau memastikan bahwa alat-alatnya sudah lengkap. Di sekelilingku siap lima suster, asisten dokter dan dokter spesialis yang langsung membantuku.
Rasa sakit yang luar biasa datang lagi dan dokter memberi aba-aba. Dokter panik karena kepala bayi sudah terlihat. Dan benar saja, aku melihat bayi mungil itu sudah dibawa suster menjauh dariku untuk dibersihkan. Aku bisa melihatnya dia memegang kaki anakku diatas, di balik dan dipukul-pukul pantatnya. Setelah beberapa kali pukulan si kecil mengeluarkan tangisannya yang kencang.
Betapa terharuku melihatnya. Suamiku juga tak henti-hentinya mengucap hamdalah. Dokter memberi selamat dan sisanya akan diurus asistennya. Seketika rasa kantuk menyerang dengan sangat. Kudengar suster menepuk-nepukku.
“Bu… Ibu buka matanya, Bu….”
Berat sekali, tenagaku seperti dikuras habis sama sekali. Sekilas, aku masih melihat suamiku di sampingku untuk membangunkanku juga. tak lama, semua kembali menjadi hitam. Aku terlelap, larut dalam keheningan.
Photo by Danijel Durkovic on Unsplash