Bidadari-Bidadari Kecil

Oleh: Hendra Desdyanto

“Yeee… Ayah pulaaang… Aaayah pulaaang,” teriak mereka berdua dengan wajah riang. Belum juga motor kumatikan, disambut pertanyaan, “Ayah bawa jajan apa?”

Hal ini yang selalu kurindukan. Disambut bidadari-bidadari kecil. Sebelum pulang, sengaja kubelikan  jajan dan terkadang tidak. Takutnya jadi kebiasaan

Sebentar kuceritakan, Nilnal Muna Alifiya adalah anak pertamaku. Biasa dipanggil Nilna. Anaknya aktif, sering bertanya, dan suka dibacakan cerita. Kritis kalau bahasa anak sekarang. Usianya lima setengah tahun. Lahir di Pekalongan. Sayang, waktu bayi mungil ini lahir aku tak ada di sampingnya. Aku tidak sempat mengazanninya. Karena Disaat istriku berjuang melahirkan, aku tertidur dalam bis. Sungguh suami siaga. He..he..hee..

Yang kedua Kinanti Nur Arsy. Biasa dipanggil Kinan. Cantik seperti ibunya. Pemberani, suka  menyapa, dan tidak mau kalah sama kakaknya. Usianya dua setengah tahun. Dia lahir di Tuban. Beda dengan kakaknya, saat dia lahir aku ada untuknya. Aku tahu betapa luar biasa perjuangan istriku saat melahirkan. Meskipun tanganku diremas sampai merah jadi ungu, bagiku tidak masalah. Sakitnya tidak sepadan dibanding rasa sakit yang dialaminya. Tiga hari setelah bayi cantik ini lahir, disusul dengan kabar gembira lainya. Aku lolos tes CPNS. Rezekinya anak, biasanya banyak orang bilang gitu.

“Ini, Ayah bawa donat,” kataku sambil memberikan donat pada mereka.

“Terima kasih Ya Allah sudah dikasih rezeki. Terima kasih Ayah sudah dibawain donat,” ucap mereka kompak.

Ini kata-kata yang mereka ucapkan setiap kali mendapat jajan, mainan, ataupun saat makan. Aku cuma berharap bahwa Allah yang harus pertama kali mereka ingat. Sedini mungkin kujelaskan. Bahwa ayah dan ibu hanya perantara dari Allah saja. Jadi, apapun yang mereka terima sejatinya itu rezeki dari Allah. Sangat penting menanamkan tauhid sejak kecil.

“Jangan peluk ayah dulu!” kata ibu mereka. “Tunggu! Biar ayah cuci tangan dan ganti baju dulu.”

Ya Allah… Dengan melihat mereka, rasa capek saat bekerja menjadi hilang seketika.

“Yah, tadi Adik ngompol,” kata Si Kakak.

“Yah, tadi Adik dicubit Kakak.” Si Adik tidak mau kalah.

“Lha, tadi Adik gak mau nurut sama Kakak. Disuruh pipis gak mau. Terus ngompol. Ya tak cubit.” Pembelaan si kakak.

Curhat mereka setiap kali aku pulang kerja. Saling melapor. He… he… heee…. Pokoknya, setiap hari bagai Tom dan Jerry, tapi tak jarang juga bagai Elsa dan Anna. Selalu bikin suasana rumah jadi meriah.

“Lha seperti itu bagus gak, Kak? Nyubit Adik gitu. Kan Adik bisa dibilangin baik-baik,” kataku menasihati.

“Maafin Kakak ya, Dik!” Kakak minta maaf, sambil mengulurkan tangannya.

“Adik juga gitu, kalau diberitahu Kakak yang nurut. Kakak itu sayang sama Adik,”   sambungku.

“Maafin Adik ya, Kak! Adik mau nurut sama Kakak.”

Mereka berpelukan dan saling memaafkan. Bikin haru pastinya.

Ya Allah… Terima kasih atas nikmat-Mu ini. Tolong jadikan mereka anak yang salihah. Rukun dan saling menyayangi. Aamiin…, ucapku dalam hati.


Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *