Apa yang Terjadi?

Oleh: Lisvy Nael

Kukira yang tadi hanya mimpi. Tetapi kenapa burung tadi ada. Seperti nyata. Lantas, apa yang ia katakan, itukah kebenaran tentang masa depan? Aku tidak memiliki pengalaman dengan masa depan. Tapi jika itu yang benar terjadi, aku sudah melihat tanda-tandanya sejak hari ini.

Seperti kemarin, seekor penyu berenang tampak lelah. Cangkangnya tidak lagi dihinggapi karang. Sebuah plastik berbentuk cekung, mungkin semacam basin, membungkus punggungnya. Warnya pun bukan hijau, melainkan kuning cerah. Tidak ada lumut. Tidak ada seekorpun kerang yang menempel.

Lalu, aroma kesunyian dia kuarkan. Aku melihatnya dengan jelas bagaimana saat ini semua hal yang berlaku di masa lalu tampak berbeda. Penyu dengan tempurung plastik. Aroma kesedihannya lantaran berpuluh tahun berenang sendirian. Telah banyak sesama jenisnya lenyap bersama kresek-kreses yang mereka kira ubur-ubur.

Lantas, lain hari, aku bertemu ikan dengan sirip rusak sebelah. Percis nemo! Si ikan badut yang banyak kalian tonton di layar-layar datar penuh warna itu. Yang paling janggal adalah, seekor ikan pari tersenyum lebar seperti mengejek. Katanya itu akibat dari perbuatan lamanya, manusia durhaka kepada ibunya. Konyol. Meskipun mungkin benar, karena kini ikan pari itu terlihat seperti menderita. Terbawa arus mulus dari tumpahan-tumpahan minyak dari teluk-teluk di tempat tanah berpasir krem halus.

Ah, minggu lalu aku bertemu seekor bangau. Ia tidak lagi dalam kawanannya. Telah tercerai akibat warna bulunya yang tak lagi merah muda melainkan hijau tua.

“Jenis burung apa kau? Berwarna hijau tua dan berkaki jenjang, aku tak pernah menemukan jenismu pada buku ensiklopedia mana pun,” tanyaku iseng.

“Aku bangau. Takkah kau lihat jejak-jeka merah muda pada bulu-buluku? Sebegitu hijaukah aku?” Ia tampak heran sendiri. Terlihat kecewa karena aku gagal mengenalinya.

“Ya, kau hijau sekali sampai kukira kau adalah merak, tapi aneh sekali bisa terbang sampai di tengah laut begini. Apa yang terjadi sampai kau hijau begitu?” Aku mulai bersimpati.

“Tidak banyak. Hanya orang-orang sialan yang menumpahkan cat ke sebuah teluk tempat kami singgah. Bodohnya mereka sebut itu sebagai penghijauan. Aku tak tahu apa yang mereka pelajari di dalam buku-buku. Ah, kudengar juga buku-buku bahkan sudah tidak ada karena pepohonan sudah menyerah untuk gedung-gedung.” Sepertinya si bangau kesal sekali. Aku bisa melihat dari kilatan di matanya.

“Aku menyadarinya. Realita kita saat ini. Bermimpi pada hal-hal yang membawa pada mati. Apakah kau masih ingin warnamu kembali?”Aku bahkan tak punya ide bagaimana membuat warna bulunya kembali seperti sejatinya.

“Ah… andai bisa, mau sekali. Barangkali jika warnanku kembali, aku tak harus merasakan lagi sepi. Teman-temanku akan menerimaku sebagaimana mesti.” Ada senyum lemah yang sekilas tergaris. Tetapi segera pudar setelah dia sadar, itu hanya mimpi yang takkan mungkin dia jamah dalam kenyataan.

“Maafkan aku jika pertanyaanku membuatmu sedih.”

“Tapi aku pernah mendengar, jika berenang di Samudera Utara akan membantu memulihkan warnaku. Itu pun jika Samudera Utara masih diselimuti oleh es-es putih yang akan membantu mencairkan kehijauan di bulu-buluku. Aku terbang lagi, hiduplah kau di tengah laut ini.” Setelah mengucapkan itu, Ia pun terbang.

“Semoga doamu benar. Kau sampai di Samudera Utara dan es-es di sana masih gagah berdiri tampak dingin.”


Photo by Markus Winkler on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *