Oleh: Delfitria
Pandemi datang di tahun kelulusan 2020. Aku adalah salah satu dari mereka yang akan lulus di tahun tersebut. Setelah memasuki tahun 2020, semua keinginan untuk lulus mendadak pudar mengingat tidak ada wisuda luring. Wisuda yang seharusnya jadi momentum sekali seumur hidup malah tidak terjadi seperti yang diharap. Jujur saja, aku mendambakan wisuda ini sejak tahun-tahun pertama masuk kuliah. Ah, pasti bahagia kalau bisa ajak orang tua untuk wisuda di universitas ini. Pasti. Apa daya, kesedihan pun semakin kuat ketika tahu bahwa wisuda tahun 2020 akan dilaksanakan secara online. Ternyata tidak hanya itu, ada kesedihan lainnya yang beruntun datang bagi para kelulusan tahun 2020.
Kesedihan lainnya adalah pekerjaan. Ketika mencari pekerjaan sudah terasa sulit sebelum pandemi covid19, maka memasuki pandemi pekerjaan menjadi sulit dan sulit lagi. Inilah aku, lulus tanpa wisuda online lalu sulit cari pekerjaan. Masa kelulusan kuliahku akhirnya ku habiskan dengan ‘ngasong’ di penelitian-penelitian yang ada. Job title-nya adalah enumerator. Kerjaannya di bawah tekanan karena harus mengejar target partisipan dengan jumlah yang banyak. Selain itu, aku juga mencari uang dengan verbatim! Akhirnya, kemampuan yang ku dapat saat ini membuatku ahli mengetik dengan enam jari tanpa melihat ke keyboard lagi! Benar, bukan ini pekerjaan yang diekspektasikan setelah lulus dari universitas yang katanya ‘ternama’.
Baik, tiga bulan setelah lulus skripsi, aku masih mencari pekerjaan apa yang sesuai untuk lulusan anak Psikologi. Hingga akhirnya sebuah pesan whatsapp masuk dengan judul “Lowongan Pekerjaan”! Sebagai orang yang galau dan ingin punya pekerjaan lebih mapan daripada bekerja ‘ngasong’. Job titelnya saat itu adalah Fasilitator. Jabatan ‘fasilitator’? Apakah Ia berkaitan dengan pelatihan? Tapi kalau dilihat dari tugasnya lebih administratif, ya? Ah, sudahlah. Setidaknya selama tiga bulan (kontrak di pengumuman) aku bisa mendapati bagaimana rasanya bekerja di sebuah instansi.
Aku keterima! Menjadi seseorang yang awalnya bekerja dengan titel ‘fasilitator’ meskipun ternyata pekerjaanku lebih erat dengan pekerjaan administratif. Ditambah kerjaan yang sangat sedikit bersentuhan dengan hal-hal yang berkaitan dengan pelatihan. Lagi-lagi aku merasa bahwa pekerjaan ini tidak sesuai dengan ilmu yang kupelajari di kampus. Rasanya sulit sekali menerima keadaan pekerjaan saat kondisinya tidak sesuai ekspektasi. Apa selalu begini nasib seorang fresh graduate?
Tiga bulan kujalani, aku semakin sadar. Aku banyak mendengar kisah-kisah sedih dari orang-orang sekitarku mengenai pekerjaan. Banyak dari mereka yang menganggur, kehilangan pekerjaan, bahkan bayaran yang tidak bisa ditunaikan karena kondisi perusahaannya. Hal-hal seperti itu yang menjadi bahan motivasi,
“Gak papa, semua orang juga mengalami hal yang lebih berat kok perihal pekerjaan.”
Apa yang lebih sedih dari pekerjaan yang tidak sesuai? Ya, yang lebih sedih adalah perasaan tidak bersyukur. Bismillah ya, harus lebih bersyukur untuk masa sekarang. Semoga para pejuang dream job akan segera mendapatkan impiannya!
Photo by Sydney Sims on Unsplash