Oleh: Windu Utami Surya Dewi
Ibuk selalu bilang, dulu saat bulan purnama adalah saat paling seru dan ramai. Orang-orang berkumpul di halaman rumah simbah yang lapang. Tentu saja ibuk bercengkrama dengan teman seusianya. Memainkan beberapa permainan tradisional. Sambil bernyanyi riang gembira. Sebuah nyanyian yang kuteruskan pada anakku.
Saat bulan purnama, bulan begitu besar, bulat dan utuh. Di bulan terlihat seperti bidadari yang memangku kucing. Itu yang dikatakan Ibuk. Seandainya saat gerhana, bulan akan menghilang beberapa saat. Ibuk bercerita bahwa bulan sedang dicaplok buto (bulan dimakan oleh raksasa). Untuk mengembalikan bulan, orang-orang diharuskan membunyikan suara-suara yang riuh sampai bulan muncul kembali secara perlahan. Sebuah dongeng yang indah bukan? Aku selalu mempercayai dongeng yang ibuk kisahkan. Meskipun seiring bertambahnya usiaku aku menemukan bahwa tidak semua dongeng yang ibuk kisahkan merupakan hal nyata, tetapi di dalam hatiku dongeng itu tetap ada dan menjadi salah satu kenangan paling indah.
Masa kecilku dihiasi dengan kisah dan cerita oleh ibuk dan simbah uti. Bahkan sampai nasihat pun diawali dengan sebuah kisah. Misalnya, saat aku membantu menyapu lantai atau halaman rumah dan tidak bersih simbah uti akan mengatakan, “Nek nyapu ra resik mengko bojomu brengosen.”
(“Jika menyapu tidak bersih, kelak suamimu akan berkumis.”)
Sebuah nasihat bukan? Bahwa saat menyapu hendaknya sampai bersih jangan meninggalkan sisa-sisa kotoran. Aku sadar ketika dewasa bahwa itu hanya dongeng dan bukan sebuah kenyataan. Tetapi hal itu sangat berarti, karena hingga sekarang akupun mengisahkannya kepada kedua anakku. Hal berbeda yang ku lakukan adalah aku mengatakan bahwa hal itu tentu saja tidak benar. Dilakukan agar ibuk mereka menyapu lebih bersih lagi.
Contoh lain misalnya saat bedug (alias tengah hari pas Adzan Dhuhur) aku masih bermain panas-panas di halaman dengan teman-temanku. Mbah Sanggup akan menyuruhku masuk rumah sambil mengatakan, “Ayo ndang mlebu, ngeyup mengko ndak endase mlethek. Nek mletehk ndadak ditambal nganggo jadah.”
(“Ayo segera masuk, berteduh supaya kepalanya tidak retak. Seandainya sampai retak nanti ditambal pakai jadah.”)
Jadah adalah makanan khas dari ketan dan kelapa yang ditumbuk sampai halus, dicetak kemudian dipotong sesuai selera. Dihidangkan dengan tempe bacem lebih sedap.
Jelas tidak akan terjadi bukan? Mana ada bermain di siang hari sampai kepalanya retak dan ditambal. Hal dibalik “kebohongan” itu adalah agar aku istirahat dan berhenti bermain mengingat sedang azan.
Adalagi sebuah kisah saat simbah uti mengatakan jika makan ayam itu pilih bagian kakinya supaya nanti saat besar bisa ceceker (mencari makan/nafkah). Jelas sebuah dongen tidak masuk akal bukan?
Banyak dongeng lain yang selalu diceritakan ibuk dan simbah uti. Jaman dulu mereka memang tidak mengenal ilmu psikologi maupun ilmu parenting, tetapi dengan mendongeng sebenarnya simbah utiku telah mendidik ibukku dengan baik melalui setiap dongeng yang dikisahkannya. Kemudian ibukku pun yang selanjutnya menjadi seorang ibu pula menceritakan kisah-kisah itu kepadaku. Sedangkan aku yang saat ini menjadi seorang ibuk pun melakukan hal itu.
Harapanku sebagai ibu sangat sederhana, hanya ingin anaknya melebihi dirinya sendiri. Semua kebaikan yang ada padaku semoga mereka berdua bisa melampauinya, sedangkan semua kekurangan dan kesalahan yang pernah terjadi jangan sampai terulang. Saat aku menjadi ibu aku baru menyadarinya. Dan aku meyakini satu hal bahwa simbah utiku, ibukku, bahkan aku sendiri memiliki sebuah visi yang sama yaitu mencetak sebuah generasi yang lebih baik dari generasi selanjutnya.
Semoga simbah uti dan ibuk, sehat selalu. Diberikan usia yang panjang dan berkah, sehingga mereka bisa menyaksikan penerusnya melebihi diri mereka sendiri.
Photo by Ramazan Tokay on Unsplash