Tegar

OLeh: Dwina

Tiga hari aku dibuat gundah gulana. Bersyukur dan bahagia karena kami baru saja menikah. Sedih, nelangsa dan takut karena pria yang baru menikahi aku, harus pergi jauh. Pria yang baru menikahi aku itu harus pergi lama tinggalkan aku. 

Hari Sabtu siang itu kami baru selesai ikuti acara pernikahan kami di rumah orang tuaku. Sore aku dibawa suami pulang ke rumah sendiri. Butuh tiga jam perjalanan roda empat dari rumah orangtuaku ke rumah keluarga baruku. Setibanya di rumah terlihat sebuah amplop tergeletak di bawah pintu. 

Dag dig dug hati kami mengambil dan membuka amplop dengan logo ‘Tri Brata’ yang sudah aku kenali. Surat perintah bahwa pada hari Senin jam tujuh pagi harus sudah ikut apel pagi di lapangan Sekolah Bahasa Polri di ibukota.

“Kok bisa? Surat perintah tentang apa?” tanyaku penasaran dengan perasaan takut dan sedih. Dengan enteng dan riangnya suamiku menjawab, “Alhamdulillah, lulus seleksi Pasukan Garuda.”

Tidak terasa, airmata mulai meleleh di kedua mataku. Aku masih belum paham. Aku akan ditinggal jauh dan lama oleh suami. Jauh ke lokasi yang kata orang masih rawan perang. Jauh ke lokasi yang kata orang rawan konflik bersenjata. Usai mandi, aku masih merasa sedih sekali. Mataku masih sembab oleh perasaanku yang tidak karuwan. Dia merangkul dan menuntunku ke tempat tidur. Kami berdua rebahan. Dia mencoba menghiburku. Dia mencoba menjelaskan resiko, kerugian dan keuntungan bisa menjadi anggota Pasukan Garuda. Dia berusaha memberiku pemahaman tentang tugas dan tanggung jawab sebagai anggota Pasukan Garuda misi penjaga perdamaian PBB di Bosnia. Herzegovina. Aku mulai paham. Sedikit demi sedikit perasaan baper itu mulai terkikis, ketika dia dengan tegas berkata:

“Tugas ini masa depan kita. Tugas ini untuk hari esok kita dan keluarga kita yang lebih baik. Jadi tolong, ikhlaskan saya menunaikan tugas itu. Dan mohon doanya agar saya bisa ‘budhal slamet, mulih slamet’.”  

Ya, kesempatan itu memang sudah ditunggunya beberapa tahun sejak mengikuti pelatihan Standby Force pada tahun 1996. Dia tidak ingin kesempatan itu akan hilang begitu saja. Padahal dia sudah dua kali gagal mengikuti proses seleksi karena kurang mahir mengemudi roda empat. 

Aku pamit ke dapur untuk buatkan minuman, sambil mencoba mengikuti perasaan yang masih kacau dan nelangsa itu. Masak baru masuk rumah, sudah mau ditinggal sendiri. Ditinggal pergi jauh dan lama lagi. Takutlah harus hidup sendirian. Dalam pikiran yang campur aduk, tak sengaja aku menjatuhkan nampan yang kubawa. Dan tiba-tiba, prang… nampan jatuh dengan tumpahan air teh manis beserta pecahan gelas bertebaran di lantai. 

“Ini firasat, aku tidak boleh berangkat sekarang,” gumamnya. 

“Tapi bagaimana dengan kesempatan itu?” Aku berusaha meyakinkan keraguannya. 

“Ya sudah, kita awali tugas ini dengan basmallah saja. Kalau sudah menjadi rizki kita, insyaallah semua akan memahami alasan kita,” katanya meyakinkan diri. 

“Ya sudah, kalau begitu besok pagi-pagi silahkan berangkat.” Kucoba memberi semangat meski dalam hati tidak rela melepas kepergiannya yang jauh dan lama. Setelah mempersiapkan satu tas berisi dokumen dan beberapa baju. Kamipun istirahat. 

Hari Minggu jam empat pagi itu suara tilawah dari masjid sudah terdengar. Kami bangun, mandi, sholat, membuat sarapan dan segera pergi ke stasiun. Tiba di loket, dia beli tiket kereta api Jayabaya tujuan ibukota.  

Saat itu kereta api sebagai sarana transportasi yang terjangkau untuk kami jika mau bepergian lintas provinsi. Kereta kelas ekonomi selalu menjadi pilihan. Pas dengan kemampuan isi dompet kami, meski harus rela berdesakan dan bahkan kadang tanpa kursi. Naik kelas bisnis jika ingin lebih nyaman atau jika waktunya sangat mendesak. 

“Ning nong… ning nong… ning nong… Kereta bisnis Jayabaya dari Gubeng Surabaya akan segera tiba di jalur dua. Para penumpang dimohon mempersiapkan diri dan memeriksa kembali barang bawaan anda. Terima kasih. Ning nong… ning nong… ning nong….

Suara pengumuman yang biasanya menimbulkan euforia kegembiraan, namun kali itu justru menyampaikan bisikan yang menyayat hati. Sambil melongok menunggu kereta datang kupegang erat tangan kirinya. Dia letakkan tas yang ada ditangan kanannya. Dia tepuk-tepuk tanganku yang ada di genggamannya untuk menghiburku. 

Pilu terasa untuk melepasnya. Aku berusaha tegar. Sesekali aku tarik nafas dalam-dalam agar air mataku tidak keluar. Kami masih saling berpegangan erat. 

Kereta api mulai menampakkan dirinya. Dalam hitungan sepuluh akan berhenti tepat didepan kami. Orang-orang yang akan bepergian dengan kereta tersebut juga sudah siap dijalur yang sama dengan kami.

Setelah memelukku. Mencium kening dan kedua pipiku sebentar. Dia ambil tas yang ada dan segera naik ke gerbong kereta. Dia menghilang diantara orang-orang yang sibuk mencari nomor kursi duduk mereka.

Aku kecewa kenapa dia langsung saja menghilang?

Aku mencari-cari. Aku mondar-mandir melongok isi gerbong nomor dua. Tapi tak kutemukan. Air mata yang sudah kutahan dari tadi mulai keluar tak terbendung. Mataku yang sudah buram masih berusaha mencari-cari dia duduk atau berdiri dimana. 

“Ning nong… ning nong… ning nong…  Kereta bisnis Jayabaya di jalur dua akan segera berangkat menuju stasiun Gambir Jakarta. Para pedagang asongan dimohon segera turun dari kereta. Terima kasih Ning nong… ning nong…  ning nong…”

Peluit panjang dari petugas pemberangkatan kereta sudah berbunyi. Semakin pilu rasanya tidak mengetahui dia ada di sebelah mana. Aku sudah putus asa. Lalu aku duduk untuk meluapkan kagalauanku.

Tiba-tiba dari pintu gerbong tiga ada suara khasnya memanggilku, “Jeng… Jeng…” sambil melambaikan tangan dia muncul. Berdiri di pintu kereta. Aku mendekatinya. Dia masih bisa meraih tangannku. Kulihat matanya yang teduh memandangku tak berkedip. Sambil senyum yang dipaksakan. Dia juga berusaha tegar. 

“Jaga diri ya…” ucapnya.   

Kereta perlahan bergerak. Dia lepaskan pegangan tanganku. Kereta terus bergerak menjauh. Pilu. Kedua mataku terus melelehkan air mata. Kulambaikan tanganku tanpa daya melepas kepergian separuh nyawaku. Senyum dan tangisku tertahan. Ada yang mau meledak tapi tertahan di dada. Sedih sekali, takut, merasa sendirian, seakan tidak rela secepat itu harus berpisah. 

Syukur allhamdulillah dalam setiap doaku selama setahun penantian, dengan semboyan yang selalu dikobarkan oleh separuh nyawaku untuk mewujudkan ‘Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esuk harus lebih baik daripada hari ini’, akhirnya kutemukan kedamaian dan ketegaran batin.


Photo by Daniel Bernard on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *