Tamu Tak Diundang

Oleh: Lisvy Nael

Lamunku begitu panjang hingga hari petang hilang, tengah malam kini jelang. Dari perak yang menyilaukan, kini langit dan laut bersekutu menjadi kegelapan. Tidak ada yang bisa kulihat selain kegelapan itu sendiri. Tidak ada bintang. Bulan tak datang.

Aku mendesah. Menghelakan napas yang terasa panas karena sedikit kudorong. Kurebahkan badan. Menatap ke atas yang tampak lengang. Tidak ada tanda-tanda angin datang. Masih tampak tak ada kehidupan.

Selayang pandang, seekor burung berkelebat. Masih tak kuhiraukan. Sampai Ia hinggap di atas tiang layarku. Hanya bulunya yang putih terlihat. Mata dan paruhnya menyaru gelap. Lantas aku mulai memejamkan mata. Merasa lelah dan gerah. Karena tak ada pilihan menyenangkan, kupilih menyerah pada kantuk dan sedikit kebosanan.

“Kau tampak lelah. Apa yang kau lakukan seharian ini?” tanya burung berparuh hitam itu menyapaku.

“Aku dari perjalanan panjang. Berziarah kepada kenangan.” Jawabku sekenanya.

“Aku juga dari perjalanan panjang. Namun, aku tidak dari kenanang, melainkan masa depan.” Ia membuka paruhnya. Aku sebenarnya tidak tertarik mendengarkan ocehannya. Namun, tentang masa depan yang Ia sebut mengusikku.

“Bagaimana bisa kau datang dari masa depan?” burung berbulu putih itu berpindah ke pagar pinggiran kapal.

“Ini cerita panjang, takkan selesai hanya dalam sekali malam kuceritakan.” Jawabnya singkat.

“Kalau begitu, berikan aku ringkasannya saja,” desakku kemudian.

“Wel… ada seuah tempat bernama masa depan. Tidak ada yang menarik kecuali lautan mulai kehilangan jiwanya. Hutan-hutan  juga tampak lebih abu-abu dan menyilaukan. Mereka pucat karena ditanami beton-beton tinggi.” Si burung memulai ceritanya dengan ragu.

“Lalu?” Sebenarnya aku tidak heran dengan fakta itu. Jangan tunggu sampai di masa depan. Saat ini pun, lebih banyak hutan abu-abu daripada hijau dipenuhi pepohonan.

“Semoa orang berteriak-teriak. Tidak ada yang mendengarkan. Mereka enggan duduk sehadapan, tetapi bercerita dengan gembira dengan yang berada di seberangan.

“Tidak ada mobil-mobil. Orang-orang berpindah dari satu tempat hanya menggunakan bayangan. Sementara tubuhnya terdiam dan matanya tampak terpejam.” Hm… burung ini terlihat mengada-ada.

“Aku tidak mengada-ada. Bahkan, kau tau, di sana tidak ada orang hamil. Tidak ada sayuran dan buah-buahan.”

“Gila! Apakah itu akhir dari dunia? Bagaimana mungkin tidak ada yang hamil?” Aku terkesiap dengan informasi baru itu hingga bangkit dari dudukku.

“Iya, tidak ada perempuan hamil. Semua sel telur dan semen bersatu dalam tabung-tabung kaca. Anak-anak lahir dan besar di sana sampai bisa mengenakan celana sendiri dan berlari ke mana-mana. Barulah saat itu, mereka di lepas ke tanah lapang. Mereka akan berlari ke arah mana pun. Siapa pun yang berada di tepi lapangan dan anak-anak ini tuju, mereka menjadi orang tuanya. Mereka menyebut hari itu sebagai hari panen raya.” Ia tampak mengepakkan sayapnya sebentar, memperbaiki posisi berdirinya.

“Lalu, apa yang terjadi?” oke, aku mulai penasaran.

Sebuah cairan yang agak lengket tepat mendarat di pipiku. Rasanya sedikit dingin. Aku terbangun dari tidurku. Dan kutahu, apa yang jatuh tepat di pipiku adalah kotoran burung. Lantas, jika aku tertidur, apakah si burung itu masuk ke dalam mimpiku? Atau aku memang tidak tertidur? Ah… entahlah.


Photo by Lucas Sankey on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *