Oleh: Dian Sulis Setiawati
Saat itu aku belum bersekolah, aku kecil menghabiskan hari-hariku di pasar. Nenekku punya warung nasi yang lumayan ramai pengunjungnya di dalam stand pasar baru Tuban. Ibukku membantu nenekku berjualan dan aku yang seharusnya sudah masuk Taman Kanak-Kanak saat itu belum disekolahkan karena harus ikut ibukku ke pasar setiap hari.
Aku punya seorang teman seumuranku di pasar, namanya Yanti. Dia juga ikut berjualan orangtuanya di pasar. Dia seorang tunarungu atau anak dengan hambatan pendengaran. Entah bagaimana dulu kami berkomunikasi, yang aku ingat dia selalu memberi isyarat dengan tangannya ketika ingin mengungkapkan sesuatu padaku.
Ada satu kebiasaan kami saat itu yang begitu aku ingat. Kami selalu mencuri uang. Ya, kami mencuri karena kita mengambil diam-diam, dia mengambil dari laci jualan Ibunya sedangkan aku mengambil dari laci jualan nenekku. Uang yang kami ambil adalah uang recehan. Setelah kami berdua mengumpulkan uang itu jadi satu. Maka kami akan berlari ke parkiran yang ada di bagian depan pasar. Yang kami lakukan adalah mencari pengemis. Kami membagikan uang recehan tadi kepada mereka. Setelah di parkiran depan kami berdua berlari-lari penuh semangat untuk mencari pengemis-pengemis yang tersebar di dalam pasar. Yang aku ingat adalah salah seorang pengemis di dekat toilet pasar yang tak bisa berjalan, kami selalu memberinya.
Begitu senangnya kami saat itu melakukan hal tersebut setiap hari. Sampai pada akhirnya temanku ketahuan saat mengambil uang Ibunya. Setelah diusut ternyata ketahuan bahwa aku pun melakukan hal yang sama. Kami berdua ditanya, apa yang kami lakukan dengan uang itu. Akhirnya aku jawab, “kami memberikannya kepada pengemis yang ada di pasar”. Apakah mereka marah? Ya, tentu saja mereka marah.
Beruntung ada pelanggan nenekku yang menjadi saksi bahwa kami berdua sering mencari pengemis di pasar dan memberikan uang kepada mereka. Akhirnya mereka memberi kesaksian bahwa yang kami lakukan memang benar seperti itu. Niat hati tidak salah tapi caranya yang tidak benar. akhirnya kami berdua meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi mengambil uang tanpa ijin.
Semenjak saat itu, jika kami ingin memberi uang untuk pengemis maka kami akan memberikan uang jajan kami yang kami sisihkan. Namun, semenjak kami mulai masuk SD sudah jarang bertemu. Sepertinya dia bersekolah di sekolah luar biasa.
Setelah lebih dari 25 tahun berlalu, siapa sangka aku menjadi seorang guru di Sekolah Luar Biasa. Aku mengajar anak-anak dengan berbagai hambatan, salah satunya yang memiliki hambatan pendengaran atau biasa kita sebut tunarungu.
Setiap aku mengajar murid-muridku, aku teringat teman masa kecilku. Entah bagaimana sekarang kabarnya. Doaku, semoga dia sehat dan bisa menjadi wanita mandiri walaupun memiliki keterbatasan. Salam rindu untuknya, si Tunarungu teman bermainku di pasar yang berhati baik.
Photo by Josue Michel on Unsplash