Pamali

Oleh; Denik

Sebagai anak perantau yang sejak kecil mengikuti orang tua hijrah ke Jakarta. Aku sudah mengenal tradisi mudik sejak kecil. Biasanya setiap libur lebaran kami mudik ke kampung halaman untuk bersilaturahim dengan keluarga di sana. Terutama melepas rindu pada nenek. 

Hal tersebut rutin kami lakukan sampai aku besar. Bahkan tak jarang aku dibiarkan mudik sendirian sebagai perwakilan keluarga. Sebab kondisi bapak yang saat itu sudah mulai lemah. Tidak kuat lagi bepergian jauh. 

Aku sih senang-senang saja. Apalagi pada dasarnya aku senang jalan-jalan. Namun tradisi tersebut perlahan-lahan mulai kutinggalkan. Tidak lagi menjadi keharusan. Melainkan hanya sesekali saja ketika benar-benar rindu atau ada hal penting yang memang mengharuskan diriku untuk mudik.

Sebenarnya ada hal lain yang membuat aku enggan mudik lagi. Tepatnya sejak nenek tiada. Sebab tidak ada yang membela diriku ketika sedulur-sedulur atau sepupu mulai membully. Bukan membully dalam artian sesungguhnya sih. Tapi semacam itulah. Dan aku tidak suka.

Bukan karena merasa terintimidasi. Tidak sama sekali. Tapi lebih ke arah tidak suka saja. Malas menanggapinya dan malas mendebatnya. Bagaimana tidak? Kalau apa-apa diaruharuhi (bhs Jawa: dikata-kata, dikomentari). Seperti model rambutku yang kala itu berondol, cepak seperti laki-laki.

“Perempuan itu bagusnya…..”

Kalau ada nenek pasti sudah dijawab.

“Ya, bedalah gaya anak yang gedenya di kota dengan anak yang gedenya di kampung.” 

Belum lagi urusan sepele yang terkadang membuat sebal.

“Kalau nyapu yang bersih. Kalau enggak bersih nanti dapat suaminya brewokan.”

Lha, apa hubungannya coba? Suami brewok dengan hasil menyapu yang tidak bersih. Ada-ada saja. Pernah juga ada komentar yang membuat ilfeel sekali.  

Suatu hari cuaca di kampung halaman sedang terik. Rasanya panas sekali. Mau istirahat siang tidak bisa. Akhirnya aku ajak yang lain membuat rujak. Panas-panas kan enak tuh makan rujak.

Singkat kata acara rujakannya sukses. Aku sebagai orang yang menginisiasi pembuatan rujak tersebut bertanggungjawab untuk merapikan perabot kotornya.

Ketika di cobek masih ada sisa sambal, aku segera memotong buah ketimun dan berniat mencocol sambal tersebut. Belum juga sambalnya kucocol ketika dari dalam bulik (bhs Jawa: Tante, adik ibu/bapak) meneriakiku.

“Jangan makan sambal dari cobeknya. Pamali.”

“Pamali itu apa Bulik? Terus kenapa enggak boleh? Kan sayang-sayang. Sambalnya masih ada dan enak pula,” sahutku.

“Pamali itu ya pamali. Pokoknya enggak pantas saja. Ora elok.”

“Kalau kamu suka  ngoretin (bhs. Jawa: menghabiskan makanan) dari cobeknya. Nanti dapat suaminya sisa orang alias duda.”

Ups. Aku nyaris tersedak. Ya, ampun. Segitunya sih mereka percaya terhadap sesuatu yang dianggap pamali atau tabu. 

Dalam keluargaku meski ibu dan bapak orang Jawa tulen, tapi aku tidak pernah mendengar ada aturan semacam itu. Jadi ketika berada di kampung halaman  banyak larangan semacam itu, rasanya risih juga. 

“Jangan duduk di depan pintu? Nanti mau dilamar enggak jadi.”

“Makan tuh piringnya yang lebar. Biar suaminya nanti punya tanah lebar dan harta dimana-mana.”

Ya, ampun. Keyakinan macam apa pula. Kini jika mengingat kembali hal tersebut aku jadi kepingin ngakak. Ada-ada saja. (EP)


Photo by Markus Spiske on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *