Oleh: Tyasya
Mengikuti sebuah kompetisi bukan hal baru lagi bagiku. Meski prestasi tertinggi kucapai saat SD dengan meraih juara 1 lomba mata pelajaran matematika tingkat kecamatan, itu sudah membuatku puas. Masuk SMP dan SMA jangan tanyakan lomba apa yang kuikuti. Nihil. He-he-he.
Sewaktu masuk kuliah semester tiga, aku ikut seleksi kompetisi matematika jenjang universitas. Nothing to lose aja kala itu. Secara ada mata kuliah yang aku belum ikuti, pastinya ilmunya belum ada. Dengan berbekal buku pinjaman kepunyaan kakak tingkat, aku ikuti seleksi itu. Nggak nyangka, bisa juara dua tingkat universitas. Alhamdulillah sekali, pengalaman pertama yang indah, tapi bukan itu inti cerita kali ini.
Setiap tahunnya, aku selalu ikut seleksi. Semester 3 yang pertama, semester 5 yang kedua, semester 7 yang ketiga sebelum aku lulus. Cerita ini adalah tentang kompetisi ter… yang kuikuti saat semester 5. Seperti biasa, seleksi diadakan di MIPA. Kali ini cukup banyak yang mengikuti dari FMIPA dan FKIP. Meskipun semua materi sudah kudapat tapi namanya manusia ya, bisa saja lupa.
Kalian tahu yang kulakukan saat stuck mengerjakan soal? Aku menulis beberapa puisi yang akan diikutsertakan dalam salah satu agenda HIMATIKA. Jangan tertawakan aku lho, ya. Salah satu kebiasaanku ya begitu. Sudah nggak bisa mikir, maka tangan butuh pelampiasan. Duileh bahasanya. Entah mencoret tanpa arah (for your information aku nggak bisa gambar) atau ya menulis curahan hati sesuai yang dirasakan.
Bisa nebak hasil kompetisinya? Nyaris gagal! Dari juara 2, kini hanya dapat juara 5. Eh peringkat kali ya kalo 5 mah. Tetap harus bersyukur, kali ini bisa ikut seleksi nasional di Semarang. Yeeey, jalan-jalan. Hi-hi-hi. Seleksi di Semarang akan berlangsung hari Senin. Delegasi diputuskan berangkat dari Solo hari Minggu sore dan menginap di rumah kerabat salah satu dari kami.
Minggu pagi, aku janjian dengan adik tingkat ke Manahan. Mau jalan-jalan sekalian beli jilbab. Pagi itu pas mau berangkat ban motornya ternyata bocor. Berhubung pagi-pagi belum ada tukang tambal ban yang buka, harus mencari agak jauh. Akhirnya tertunda keberangkatannya. Begitu sampai Manahan, kami berkeliling dan mencari apa yang menjadi tujuan —jilbab.
Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, kami pulang. Di perempatan dekat kampus, kami terhalang lampu merah. Sebagai warga yang taat aturan, kami pun berhenti di belakang marka. Ketika lampu berubah warna menjadi hijau, motor pun melaju pelan. Tiba-tiba sebuah motor melaju dengan sangat kencang dari sebelah kiri dan menyenggol spion. Kami terjatuh, motor meluncur ke arah kanan sedangkan kami terkapar di tengah jalan. Bersyukur tidak ada kendaraan yang melaju kencang, sehingga kami aman. Pak polisi yang berjaga di pos, segera mengejar pengendara yang menyenggol tadi. Sayangnya dia sudah tidak terkejar lagi.
Kami sudah di bawa ke pinggir jalan. Adik tingkatku terluka di dekat mata kaki. Sementara aku terluka di bagian lutut. Ya Allah, sakitnya untuk berjalan.
“Kamu nggak apa-apa, Dek?” tanyaku kepada Adik Tingkat.
“Ndak papa, Mbak. Mbak masih bisa jalan?” tanyanya.
“Bisa, tapi ya sakit. Perlu ke klinik nggak ini?”
Adik tingkatku itu nggak mau ke klinik. Akhirnya setelah sampai indekos, kami mengobati lukanya sendiri.
“Mbak tetap berangkat ke Semarang?” tanya Adik Tingkat.
“Iya to, masa nggak jadi. Ya ditahan-tahanin aja sakitnya,” ucapku.
Kejadian ter … tidak berhenti sampai situ saja. Setelah selesai kompetisi, aku ingin langsung pulang ke rumah, tidak ikut mobil ke Solo. Berhubung di dekat situ ada terminal, kupikir bisa naik bus dari situ. Yah, minimal ada travel kan. Aku diturunkan di seberang terminal. Dengan kaki yang terpincang-pincang, aku naik tangga penyeberangan. Perjuangan yang luar biasa, menahan sakit. Untungnya barang bawaanku nggak banyak. Apa lacur, ketika sampai di terminal, tak ada bus yang mengarah ke kota tempatku tinggal. Pun juga travel nggak ada.
“Coba ke agen Damri, Mbak. Naik taksi saja ke sana,” saran salah satu orang di sana.
“Tapi masih ada busnya, Pak?” tanyaku.
“Ya, kayaknya masih ada.”
Oiya, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Semarang sendirian. Nggak kenal siapa-siapa, hanya bermodalkan bismillah saja. Aku mencari sopir taksi yang akan membawaku ke agen bus. Sesampainya di sana, aku bertanya kepada petugasnya.
“Pak, bus ke kota X masih ada?”
“Wah, Mbak beruntung. Harusnya jadwalnya sudah Ndak ada, tapi ini terlambat jadinya masih keburu.”
Mendengar penjelasan Bapak itu hanya bisa berucap Alhamdulillah. Sendirian di kota orang, aku bisa pulang juga.
Photo by Sarah Shaffer on Unsplash